Pesta kembang api dimulai. Tiup terompet mulai terdengar ramai saling bersaut. Berbagai pertunjukan, pesta, dan aneka macam musik dipertontonkan guna mengiringi jalannya acara. Manusia berhamburan ke luar rumah. Semua menyatu dalam lautan kegembiraan. Bak tak mau terlewat barang sedetikpun. Itulah suasana memasuki tahun baru Masehi. Di setiap sudut kota di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Namun, bagaimana sejarah tahun Masehi? Bagaimana Islam memandang perayaan tahun Masehi tersebut? Apa hukumnya?
Sejarah Masehi
Menurut catatan Encarta Reference Library Premium, Masehi merupakan nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Orang pertama yang membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Dibuat pada tahun 45 SM jika mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
Tapi pada perkembangannya, seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius kemudian memanfaatkan penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk zaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) atau SM (Sebelum Masehi).
Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi, kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.
Di zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua (bukan munafik), tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan dan belakang. Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year.
Pandangan Islam
Dalam Islam, tradisi penyambutan terhadap peristiwa sejarah memang sangat dianjurkan. Seperti tanggal 27 Rojab, memperingati pristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad saw dalam rangka menerima perintah sholat. Tanggal 12 Robiul Awal (Bulan Maulid) bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. 1 Syawal (Idul Fitri), merayakan kemenangan karena telah selesai menunaikan ibadah puasa satu bulan penuh. 10 Dzul Hijjah (Idul Adha) memperingati peristiwa Nabi Ibrohim ketika diperintah mengurbankan putranya Nabi Ismail. 15 sya’ban (Nisfu Sya’ban) penutupan pencatatan amal kita selama satu tahun. Dan termasuk 1 Muharom tahun baru hijriyah, memperingati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Kota Mekah ke Madinah.
Bagaimana dengan memperingati sejarah yang bukan milik umat Islam? Rosul saw dengan tegas melarang umatnya untuk meniru-niru budaya atau tradisi agama atau kepercayaan lain. “Barangsiapa yang menyerupai (bertasyabuh) suatu kaum, maka ia termasuk salah seorang dari mereka. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan ath-Thabrani).
“Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Alloh akan turun atas mereka” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640). Umar ra. berkata : “Hindarilah musuh-musuh Alloh pada momentum hari-hari besar mereka” (ibid, No. 18641). Abdulloh bin Amr bin al-Ash ra, berkata, “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka” (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512).
Hukum Merayakannya
Sebagian kalangan masih bersikeras untuk mengaitkan perayaan datangnya tahun baru dengan kegiatan bangsa-bangsa non-muslim. Dan meski tidak langsung terkait dengan masalah ritual agama, tetap dianggap haram. Pasalnya, perbuatan itu merupakan tasyabbuh orang kafir, meski tidak terkait dengan ritual keagamaan. Mereka mengajukan dalil bahwa Rosululloh saw melarangnya dengan berpegang pada tafsiran terhadap hadits di atas secara tekstual. Namun bagaimana dengan hukum perayaan yang tidak terkait unsur agama, melainkan hanya terkait dengan kebiasaan suatu masyarakat atau suatu bangsa?
Sebagian kalangan secara tegas memberikan batasan, yaitu hanya hal-hal yang memang terkait dengan agama saja yang diharamkan buat kita untuk menyerupai. Sedangkan pada hal-hal lain yang tidak terkait dengan ritual agama, maka tidak ada larangan. Misalnya dalam perayaan tahun baru, menurut mereka umumnya orang tidak mengaitkan perayaan tahun baru dengan ritual agama. Di berbagai belahan dunia, orang-orang melakukannya bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi bukan di dalam rumah ibadah, juga bukan perayaan agama.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak salah bila bangsa itu merayakannya, meski mereka memeluk agama Islam. Namun lepas dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat kita umat Islam yang bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi dan berkaca diri terhadap perayaan malam tahun baru.
Pertama,biar bagaimana pun perayaan malam tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rosululloh saw. Kalau pun dikerjakan hendaknya dengan sesuatu yang bermanfaat. Tanpa berlebihan dan tidak melakukan sesuatu yang mendekatkan umat pada kesesatan.
Kedua, tidak ada keuntungan apapun secara moril maupun materil untuk melakukan perayaan itu. Umumnya hanya sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang mengalami degradasi pengaruh pola hidup western. Bahkan seringkali malah sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percuma. Oleh karena itu, jika perayaan itu hanya akan menyia-nyiakan waktu dan harta alangkah baiknya untuk lebih memberikannya pada orang yang membutuhkan, baik waktu maupun harta. Alloh SWT berfirman: “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Almaidah: 32)
Ketiga, bila perayaan ini selalu dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendiri, dikhawatirkan pada suatu saat akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama. Padahal perayaan itu hanyalah budaya impor yang bukan asli budaya bangsa kita. Jika hal ini terjadi, maka paradigma umat Islam akan terkikis dengan suatu perbuatan yang hakikatnya hanya sebuah tradisi Barat.
Keempat, karena semua pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai Muslim kita tidak perlu mentradisikan acara yang dapat mengikis keimanan umat, berfoya-foya (sikap berlebihan). Meski belum tentu menjadi haram hukumnya. Alloh SWT berfirman: “Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.(QS. Al-An’am: 141)
Kelima, di dalam Islam hanya memiliki dua hari raya. Yaitu hari raya Iedul Fitri dan hari Raya Iedul Adha. Oleh karena itu, Alangkah baiknya ketika tahun baru tiba, kita bemunajat dan mensyukurinya karena Alloh SWT masih memberi kesempatan kepada kita untuk merasakan tahun selanjutnya, sehingga kita berniat untuk menjadi orang yang lebih baik dari tahun sebelumnya dan terus meningkatkan amalan-amalan ibadah kita kepada Alloh SWT.
Hal di atas, tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Anas ra. Ia berkata: “Ketika Rosululloh saw datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main di hari raya itu pada masa jahiliyyah, lalu beliau bersabda: ‘Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Alloh telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Iedul Adha dan Iedul Fitri”. (Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi)
*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Tabloid Rhobitah/Berbagai Sumber.
(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)