Islam dan Perayaan Tahun Baru Masehi

Standar

Pesta kembang api dimulai. Tiup terompet mulai terdengar ramai saling bersaut. Berbagai pertunjukan, pesta, dan aneka macam musik dipertontonkan guna mengiringi jalannya acara. Manusia berhamburan ke luar rumah. Semua menyatu dalam lautan kegembiraan. Bak tak mau terlewat barang sedetikpun. Itulah suasana memasuki tahun baru Masehi. Di setiap sudut kota di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Namun, bagaimana sejarah tahun Masehi? Bagaimana Islam memandang perayaan tahun Masehi tersebut? Apa hukumnya?

Sejarah Masehi

Menurut catatan Encarta Reference Library Premium, Masehi merupakan nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Orang pertama yang membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Dibuat pada tahun 45 SM jika mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.

Tapi pada perkembangannya, seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius kemudian memanfaatkan penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk zaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) atau SM (Sebelum Masehi).

Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi, kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.

Di zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua (bukan munafik), tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan dan belakang. Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year.

Pandangan Islam

Dalam Islam, tradisi penyambutan terhadap peristiwa sejarah memang sangat dianjurkan. Seperti tanggal 27 Rojab, memperingati pristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad saw dalam rangka menerima perintah sholat. Tanggal 12 Robiul Awal (Bulan Maulid) bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. 1 Syawal (Idul Fitri), merayakan kemenangan karena telah selesai menunaikan ibadah puasa satu bulan penuh. 10 Dzul Hijjah (Idul Adha) memperingati peristiwa Nabi Ibrohim ketika diperintah mengurbankan putranya Nabi Ismail. 15 sya’ban (Nisfu Sya’ban) penutupan pencatatan amal kita selama satu tahun. Dan termasuk 1 Muharom tahun baru hijriyah, memperingati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Kota Mekah ke Madinah.

Bagaimana dengan memperingati sejarah yang bukan milik umat Islam? Rosul saw dengan tegas melarang umatnya untuk meniru-niru budaya atau tradisi agama atau kepercayaan lain. “Barangsiapa yang menyerupai (bertasyabuh) suatu kaum, maka ia termasuk salah seorang dari mereka. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan ath-Thabrani).

“Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Alloh akan turun atas mereka” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640). Umar ra. berkata : “Hindarilah musuh-musuh Alloh pada momentum hari-hari besar mereka” (ibid, No. 18641). Abdulloh bin Amr bin al-Ash ra,  berkata, “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka” (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512).

Hukum Merayakannya

Sebagian kalangan masih bersikeras untuk mengaitkan perayaan datangnya tahun baru dengan kegiatan bangsa-bangsa non-muslim. Dan meski tidak langsung terkait dengan masalah ritual agama, tetap dianggap haram. Pasalnya, perbuatan itu merupakan tasyabbuh orang kafir, meski tidak terkait dengan ritual keagamaan. Mereka mengajukan dalil bahwa Rosululloh saw melarangnya dengan berpegang pada tafsiran terhadap hadits di atas secara tekstual. Namun bagaimana dengan  hukum perayaan yang tidak terkait unsur agama, melainkan hanya terkait dengan kebiasaan suatu masyarakat atau suatu bangsa?

Sebagian kalangan secara tegas memberikan batasan, yaitu hanya hal-hal yang memang terkait dengan agama saja yang diharamkan buat kita untuk menyerupai. Sedangkan pada hal-hal lain yang tidak terkait dengan ritual agama, maka tidak ada larangan. Misalnya dalam perayaan tahun baru, menurut mereka umumnya orang tidak mengaitkan perayaan tahun baru dengan ritual agama. Di berbagai belahan dunia, orang-orang melakukannya bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi bukan di dalam rumah ibadah, juga bukan perayaan agama.

Dengan demikian, pada dasarnya tidak salah bila bangsa itu merayakannya, meski mereka memeluk agama Islam. Namun lepas dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat kita umat Islam yang bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi dan berkaca diri terhadap perayaan malam tahun baru.

Pertama,biar bagaimana pun perayaan malam tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rosululloh saw. Kalau pun dikerjakan hendaknya dengan sesuatu yang bermanfaat. Tanpa berlebihan dan tidak melakukan sesuatu yang mendekatkan umat pada kesesatan.

Kedua, tidak ada keuntungan apapun secara moril maupun materil untuk melakukan perayaan itu. Umumnya hanya sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang mengalami degradasi pengaruh pola hidup western. Bahkan seringkali malah sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percuma. Oleh karena itu, jika perayaan itu hanya akan menyia-nyiakan waktu dan harta alangkah baiknya untuk lebih memberikannya pada orang yang membutuhkan, baik waktu maupun harta. Alloh SWT berfirman: “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Almaidah: 32)

Ketiga, bila perayaan ini selalu dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendiri, dikhawatirkan pada suatu saat akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama. Padahal perayaan itu hanyalah budaya impor yang bukan asli budaya bangsa kita. Jika hal ini terjadi, maka paradigma umat Islam akan terkikis dengan suatu perbuatan yang hakikatnya hanya sebuah tradisi Barat.

Keempat, karena semua pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai Muslim kita tidak perlu mentradisikan acara yang dapat mengikis keimanan umat, berfoya-foya (sikap berlebihan). Meski belum tentu menjadi haram hukumnya. Alloh SWT berfirman: “Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.(QS. Al-An’am: 141)

Kelima, di dalam Islam hanya  memiliki dua hari raya. Yaitu hari raya Iedul Fitri dan hari Raya Iedul Adha. Oleh karena itu, Alangkah baiknya ketika tahun baru tiba, kita bemunajat dan mensyukurinya karena Alloh SWT masih memberi kesempatan kepada kita untuk merasakan tahun selanjutnya, sehingga kita berniat untuk menjadi orang yang lebih baik dari tahun sebelumnya dan terus meningkatkan amalan-amalan ibadah kita kepada Alloh SWT.

Hal di atas, tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Anas ra. Ia berkata: “Ketika Rosululloh saw  datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main di hari raya itu pada masa jahiliyyah, lalu beliau bersabda: ‘Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada masa jahiliyyah. Dan sungguh Alloh telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Iedul Adha dan Iedul Fitri”. (Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi)

 

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Tabloid Rhobitah/Berbagai Sumber.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

 

Kebersihan Mukena VS Kebersihan Pakaian

Standar

Bersuci merupakan salah satu syarat syahnya sholat. Sesuatu yang suci pasti identik dengan bersih. Bersih tehadap kondisi jiwa dan raga. Bersih jiwanya berarti seseorang yang melakukan sholat sedang tidak dalam keadaan mabuk atau tak sadar. Sedangkan bersih raga adalah bersih secara jasmani. Bersih dari kotoran yang menempel di badan ataupun benda yang melekat pada tubuhnya. Benda atau sesuatu yang melekat pada tubuh manusia adalah baju.

Bagi perempuan, selain baju tentu menggunakan gamis panjang atau dalam istilah negara kita, Indonesia yaitu mukenah. Fungsinya untuk menutup aurat seperti yang diperintahkan Alloh SWT dalam kitab-Nya. “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebih. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. al-A’rof: 31)

Namun, sebesar apa perawatan terhadap mukenah  yang manusia pakai sebagai sholat? Apakah sama seperti merawat  baju yang sama-sama melekat dalam tubuh mereka?

Rosul saw bersabda: “Tidak diterima sholat tanpa bersuci dan tidak diterima pula sodaqoh yang berasal dari pencurian (penipuan) ” (HR. Muslim). Begitu pentingnya kesucian bagi umat Islam, hingga salah satu yang menjadikan syahnya sholat adalah bersuci.

Sebagaimana disebutkan pula dalam Firman Alloh SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (an-Nisa: 43)

Sholat yang diwajibkan bagi umat Islam di seluruh alam adalah sholat fardhu. Sholat tersebut dilakukan lima kali dalam sehari.  Tentunya, begitu pula dengan mukenah yang dipakai pada saat menjalankan sholat. Itu berarti mukenah minimal dipakai bagi perempuan baligh sebanyak lima kali dalam sehari. Terlebih jika wanita sholehah yang melaksanakan sholat sunnah baik di waktu siang maupun malam.

Meskipun demikian, tidak banyak orang yang menyadari akan kebersihan mukenah dibandingkan dengan kebersihan baju. Baju, biasanya dipakai satu kali dalam sehari kemudian segera dicuci atau disetrika. Atau bahkan jika tidak sempat mencucinya pada hari di mana baju itu dilepas, biasanya enggan untuk memakai kedua kalinya. Alasannya karena baju itu sudah kotor, tidak nyaman dipakai dan tidak percaya diri ketika memakainya.

Berbeda dengan mukenah. Seperti yang kita ketahui, mukenah tidak pernah dicuci tiap hari, bahkan tidak sedikit orang menunggu lebaran tiba hanya untuk mencuci mukenah. Itupun karena sholat Iedul Fitri ataupun Iedul Adha dilakukan di masjid. Atau mungkin juga mencucinya satu bulan satu kali. Hal yang mungkin menjadi alasan karena malu jika mukenahnya bau tidak enak. Padahal, mukenah dipakai jauh lebih sering dibandingkan dengan baju. Terlebih bagi Muslimah yang taat dan tidak pernah meninggalkan sholat, baik yang fardhu maupun yang sunnah.

Keadaan masyarakat seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan salah satu cerminan bagi kita sebagai umat Islam untuk lebih memperhatikan kebersihan. Terutama bagi fasilitas seorang hamba dalam menemui Alloh SWT (sholat). sholat yang pada hakikatnya merupakan kumpulan doa tentu harus lebih bersih dan suci dibandingkan dengan baju yang kita pakai untuk sekedar menemui hamba-Nya.

Selain karena pahala yang besar dan merupakan salah satu rukun Islam, sholat juga merupakan ibadah yang mampu mencegah perbuatan keji dan munkar. “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut: 45)

Sholat merupakan pembatas antara Muslim dan Kafir. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh; dan Alloh tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Alloh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS. al-Baqoroh: 143)

Sholat dapat membentuk akhlak manusia. Dan yang terpenting sholat dapat digunakan sebagai media pendekatan diri hamba kepada Alloh sebagai Sang Kholiq. “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) sholat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”. (QS. Maryam: 31)

Salah satu syarat mendekat kepada Alloh yaitu dengan cara bersikap adil terhadap diri sendiri. Adil dalam istilah ini berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sholat sudah menjadi suatu keharusan untuk dilakukan pada tempat dan kondisi yang besih dan suci. Adil dalam membersihkan pakaian dan mukenah.

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (QS. Huud: 114)
Pada ayat di atas, jelas bahwa orang-orang yang ingat terhadap Alloh SWT, maka segala perbuatann baiknya dapat menghapus perbuatan-perbuatan yang buruk. Itu sebabnya sholat harus dilakukan dalam keadaan bersih dan suci.

Semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang mampu berlaku adil,  baik adil untuk diri sendiri maupun adil terhadap orang lain. Terutama adil di dalam menjaga kebersihan diri guna memperolah segala pahala kebaikan dari-Nya. Amiin.***

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Buletin Ikhlas.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

Engkau Mau Terus Ke Mana?

Standar

Fitrah manusia adalah diciptakannya rasa. Rasa senang, sedih, bahagia dsb. Seluruh manusia di dunia ini jika ditanya apakah memilih hidup senang atau sedih sudah barang tentu memilih hidup senang. Namun, fitrah manusia juga sebagai makhluk hidup pasti akan kembali kepada asalnya. Berasal dari tanah dan akan kembali pada tanah. Bukan hanya jasadnya saja yang kembali. Esensi dari jasad itulah yang kelak akan mempertanggungjawabkan atas apa yang telah dilakukakan oleh jasad. Alloh SWT berfirman: “Tiap-tiap yang benyawa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”. (QS. al- ‘Ankabut: 57). Disebut pula dalam surat ali Imron ayat 185 berbunyi: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia memiliki dua elemen. Pertama elemen jasadiah dan kedua elemen rohaniah. Elemen jasadiah pasti akan hancur dan lebur seperti halnya tanah. Sedangkan elemen rohaniah akan kekal sampai datangnya hari kiamat dan manusia sudah selesai mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia ini. Sebagai peringatan, Alloh pun dari jauh-jauh hari menyatakan bahwa manusia diciptakan di dunia ini hanya untuk menyembah-Nya; “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. adz-Dzariaat: 56). Karenanya, manusia pasti akan kembali pada-Nya dengan disertai pertanggungjawaban di dalamnya.

Pada hakikatnya, hidup adalah antrian panjang menuju kematian. Waktunya pun sudah ditetapkan kapan kematian itu menimpa kehidupan manusia. Bahkan diceritakan dalam kitab-Nya bahwa ada tiga hal yang ketetapannya sudah ditulis Alloh SWT dalam lauh mahfudz. Yaitu, jodoh, rizki dan kematian. Manusia adalah makhluk yang bernyawa, oleh sebab itu kematian pasti akan datang padanya. Bekal apa yang sudah dimiliki manusia untuk kembali ke hadirat Illahi, Alloh SWT? Apakah amal kita sudah mencukupinya untuk bisa menempati syurga-Nya? Ataukah hidup ini hanya dijadikannya sebagai senda gurau belaka? Alloh SWT berfirman: “Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan jika kamu mengetahui”. (QS. al-Ankabut: 64)

Jika kita menganalogikan kehidupan sebagai sebuah antrian panjang menuju kematian, maka analogi yang paling pas untuk itu adalah “Rumah makan”. Ya, hidup di dunia seolah-olah sedang dalam rumah makan besar. Mengapa demikian?

Di dalam sebuah rumah makan besar, pasti terdiri dari berbagai makanan, pramuniaga sebagai pencatat dari makanan yang hendak dipesan, security sebagai pengamanan. Dan terakhir kasir yang berfungsi sebagai tempat pembayaran. Semua komponen tersebut pasti memiliki bos yang berfungsi sebagai pengatur dan pengarah di dalamnya.

Sebelum masuk ke rumah makan besar, para pengunjung disambut dengan penuh kesopanan oleh para security yang menjaga pintu masuk tempat tersebut dan mempersilahkannya duduk. Tidak lama kemudian, pramuniaga pun datang menghampiri mereka dengan senyum lebar dan memberikan menu makanan yang telah tersedia. Tentu, karena semua yang datang ke sana pasti bertujuan untuk menyantap makanan. Masing-masing tersedia sesuai selera pemesan. Rasa manis, pedas, asin, gurih dsb. Semua itu khusus disediakan bagi para pengunjung. Pramuniaga pun siap melayani. Mencatat segala sesuatu yang diinginkan dan kemudian dipesan oleh mereka

Kemudian, usai menyantap makanan, pengunjung segera menuju kasir yang berfungsi sebagai tempat pembayaran. Jika pengunjung ternyata “nakal” atau tidak mau membayar, maka security tidak segan-segan untuk menghukumnya dan melaporkan pada yang berwajib.

Demikianlah hakikat manusia diciptakan di dunia ini. Kehidupan yang berakhir pada sebuah pemberhentian nyawa yaitu kematian. Sebelum mencapai kematian, manusia pasti harus melalui proses terlebih dahulu.

Setelah dilahirkan di dunia, manusia berhak memilih menu makanan apa saja yang ia kehendaki. Beriman kepada Alloh sebagai Pencipta atau tidak. Menjalankan apa yang diperintahkan-Nya atau tidak. Mencegah apa yang dilarang-nya atau tidak. Inilah sebuah pilihan bagi manusia.

Dalam menjalani proses hidup, manusia diiringi dengan Malaikat yang diutus untuk mencatat segala yang diperbuat dan direncanakan manusia. Baik amal baik maupun amal buruk. Semuanya tak lepas dari pengawasannya. Itulah tugas Rokib dan Atid. Seperti tugas yang dibebankan pada Pramuniaga di dalam sebuah rumah makan besar. Mencatat segala menu makanan yang dipesan oleh para pengunjung, yaitu manusia sebagai pengunjung alam dunia.

Jika pengunjung itu membangkang dan tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada kasir untuk membayar makanan yang sudah disantapnya, maka security lah yang bertindak. Di sini pula letak aturan dalam sebuah proses hidup manusia. Karena manusia memang tidak akan pernah lepas dari aturan dan hukum.  Jika tidak sesuai dengan apa yang dianjurkan dan diperintahkan sang pemilik rumah makan besar “Alloh SWT” maka sudah pasti hukum-Nya lah yang bermain. Karena dalam hal ini Alloh jua pengatur, perancang dan pengarah makhluk-Nya yang membuat dan memberlakukan aturan. Alloh adalah Big Bos bagi semua makhluk yang berada di alam ini. “Alloh tidak lengah dari apapun yang  diperbuat manusia”. (QS. al-Baqoroh: 85)

Dengan sigap security melaporkan segala kejadian yang diperbuat manusia kepada Big Bos. Karenanya, kehidupan ini harus dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.  Jika pengunjung mengikuti “aturan main” si Pemilik Rumah Makan Besar, maka selamatlah ia. Keluar dari rumah makan dengan perasaan senang dan keadaan kenyang. Begitu pula jika manusia mengikuti aturan yang diberlakukan Alloh SWT sebagai pemilik alam ini, maka kebahagiaanlah yang akan diperoleh manusia. Keluar dari alam dunia ini dengan penuh senyum dan rasa senang karena telah menyantap makanan yang enak, lezat, nikmat dan bergizi guna menuju alam akhirat yang kekal dan kebahagiaan selanjutnya.

Semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang mampu memaksimalkan kesempatan di dunia ini dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang kita lakukan. Giat-giatlah beribadah, karena tujuan manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menyembah-Nya. Ikutilah perintah dan aturan Alloh SWT agar kita termasuk ke dalam golongan yang mampu merasakan nikmatnya syurga dengan penuh senyum dan kebahagiaan. Karena akhiratlah tujuan kita sesungguhnya. “Mereka pasti akan kembali pada-Nya”. (QS. al- Baqoroh: 46)

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Islindo.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

Pengadilan Dunia Ada di Hati

Standar

Dalam menentukan adil dan keadilan di dunia, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab dalam menentukan adil dan keadilan pasti dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan seseorang (hati). Seperti layaknya kondisi keimanan seseorang. Terkadang yazid (bertambah)dan dalam satu titik tertentu berada dalam keadaan yanqus (berkurang). Karenanya, orang yang menjadi hakim atau pun yang bergerak di bidang hukum syarat utamanya harus memiliki keimanan kuat dan telah teruji. Terlebih, Islam mengajarkan pada kita semua agar penegak keadilan diutamakan adalah orang yang beriman dan dari kalangan kaum Muslimin.

Di dunia ini, konsep keadilan dan cara menegakkannya pasti tidak sama dengan konsep keadilan di akhirat. Sebab kebenaran yang ada saat ini hanyalah kebenaran relatif. Artinya, kebenaran yang benar menurutnya dan menurut kelompoknya saja. Dengan aneka alasan, tak ada yang mau disalahkan. Oleh sebab itu, sulit untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Masing-masing memiliki apologi dalam berucap dan bertindak.

Meskipun demikian, kita tidak dapat menyalahkan orang lain, sebab salah dan benar pada hakikatnya adalah hak Alloh. Hanya Alloh yang berhak memberikan “ganjaran” bagi mereka yang bersalah maupun yang benar. Dunia hanya berfungsi sebagai proses menuju kekekalan yang abadi dengan berada dalam syurga-Nya. Karenanya dalam menentukan keadilan, maka manusia harus memulainya dari hati diri sendiri. Sebab hati merupakan penentu segala tindakan manusia. Baik dan benar, salah dan jahat, hanya hati individu manusia lah yang mampu memberikan penilaian tersebut, termasuk pada konsep keadilan. Hati adalah ukuran tepat dalam menentukan keadilan.

Mahfudz MD, seorang pakar ilmu hukum sekaligus ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia pun berpendapat demikian. Hanya hati yang mampu mengontrol kesaksian manusia di tiap-tiap pengadilan dunia. Sebab ia tahu benar bahwa manusia hanya berhak dan sanggup berijtihad dalam menentukan kebenaran di pengadilan. Sedangkan kebenaran yang sesungguhnya hanya Dia lah yang tahu. Terdapat dalam suatu riwayat bahwa apabila hakim berijtihad dan benar maka baginya adalah dua pahala dan bagi hakim yang salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala.

Jadi, yang terpenting dalam suatu kasus, baik yang disandingkan dalam pengadilan maupun tidak adalah bukan berhenti pada menang atau kalah. Sebab jika hanya berhenti pada titik tersebut maka kiranya dengan menggunakan pengacara handal yang mampu berkelit lidah itu sudah cukup, mengingat “praktek-praktek nakal” kerap terjadi di beberapa meja hijau dunia.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan keadilan di akhirat. Di mana mulut manusia terkunci dengan rapat. Tak ada yang memberikan kesaksian selain seluruh anggota tubuhnya. Tak ada seorang pun yang mampu menolongnya, baik isteri, anak, keluarga, sahabat bahkan pengacara. Sebab jika akhirat tersedia pengacara, maka cukuplah kiranya amal individu tak berfungsi sedikitpun. Inilah pengadilan di yaumil mizan. Pengadilan yang sesungguhnya diperuntukkan bagi seluruh manusia di alam ini.

Sebagai kaum Muslimin, kita patut bersyukur. Sebab Alloh memberi jaminan bahwa yang berhak mendapat pertolongan dan amalnya tidak terputus hingga meninggal dunia adalah mereka yang “bukan berharta”, melainkan mereka yang berilmu sekaligus mengamalkannya. “Ketika anak cucu Adam meninggal, maka amalnya akan terputus kecuali tiga perkara; shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya. (HR. Muslim, dari riwayat Abu Huroiroh).

Kasus beragam yang terjadi dan sengaja diboomingkan oleh beberapa media, khususnya di Indonesia tampaknya tidak akan pernah selesai. Sebab jika satu hal telah diputuskan palu pengadilan, maka selanjutnya si tersangka pun dapat melakukan banding dan seterusnya. Tiada hal lain yang dapat menghentikan ini kecuali hati nurani. Tak heran jika “orang kecil” yang tersandung kasus pengadilan selalu berkata “Andai aku jadi Gayus”, “Orang miskin akan kekal di penjara, namun orang kaya dapat bertamasya ke luar negeri dengan rupiahnya.”

Subhanalloh, inilah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hukum dapat diperjualbelikan. Hukum dapat ditawar. Dan hukum dapat dimainkan. Karenanya, syarat utama bagi orang-orang yang duduk dalam kursi pengadilan seharusnya mereka yang punya hati nurani. Dari sini keadilan didapat. Dari sini keadilan dapat teralisasikan. Mungkinkah pencuri tiga buah kakau dihukum sama dengan pencuri trilyunan uang negara? Tentu tidak. Hati nurani lah yang bergerak.

Mungkin si pencuri tiga buah kakau melakukan hal haram ini dikarenakan kebutuhan perutnya yang sudah tidak bisa tertolong lagi. Lantas, bagaimana dengan pencuri uang negara yang berjumlah trilyunan itu? Tentu mereka melakukannya bukan karena kelaparan, melainkan karena kerakusan dan ketidakpuasan atas hal yang sudah berada di tangan mereka. Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Selanjutnya, pengadilan yang sebenarnya bukan hanya berhenti pada vonis hakim tentang berapa lama si tersangka mendekam dalam penjara, namun hal yang paling pokok dalam suatu keadilan adalah bagaimana pembinaan keimanan mereka setelah keluar dari penjara.  Pembinaan taraf ekonomi bagi orang-orang yang tersandung kasus kekurangan ekonomi. Pembinaan spiritaulitas bagi orang-orang yang tersandung kasus “miskin iman”. Hal ini dilakukan guna memperbaiki kondisi masyarakat agar mereka berubah menjadi baik, sesuai dengan aturan agama dan negara, tidak terulang lagi kejadian yang serupa atau lebih buruk. Ini merupakan proses yang patut diperhatikan juga oleh negara.

Alloh SWT selalu menyuruh kita untuk selalu menegakkan keadilan. Sebagaimana firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al Maidah: 8)

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa keadilan harus ditegakkan bagi siapa saja, baik Muslim maupun non-Muslim, tidak berpihak pada salah satu golongan dikarenakan kebencian dsb. Berbuat adil karena Alloh, bukan karena ada hubungan keluarga ataupun kekerabatan. Hal yang membedakan antara Muslim dengan non-Muslim dalam berbuat adil adalah pahala. Bagi Muslim, ketika berbuat adil, maka akan mendekatkannya pada taqwa, sedangkan bagi non-Muslim, dicukupkan baginya suatu kebaikan, sebab Alloh Maha Tahu apa yang  hamba-Nya kerjakan.

Semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang mampu mendekati “sikap keadilan” melalui hati yang diamanahkan Alloh SWT. Mudah-mudahan juga kita tidak terjebak pada hukum dunia yang secara nyata lebih kecil jangkauannya dibandingkan dengan hukum akhirat.” Amiin.*

 

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Tabloid Robithoh

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

Keadilan Tak Bisa dibeli

Standar

Hukum dunia, kata orang dapat dibeli, sebab hukum dunia ini erat kaitannya dengan kondisi hati manusia. Jika hatinya “kotor” maka akibat yang ditimbulkan dari keputusan hukumnya pun jadi “kotor”. Tak heran, jika hal ini pula yang menjadikan manusia bahkan negara  carut marut. Betapa tidak, hukum merupakan sumber utama manusia berpijak. Hukum pula yang mampu menghandle berbagai permasalahan kondisi jiwa baik dari aspek norma sosial maupun agama.

Statement di atas jelas digulirkan karena ada sebab yang mengawali adanya pembelian hukum di dunia. Salah satu contoh yang sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang, khususnya di Indonesia adalah kasus Gayus Tambunan. Mereka pun merespon kondisi seperti ini dengan beragam komentar. Ada yang menanggapinya dengan positif dan tak sedikit pula yang menanggapinya dengan negatif.

Namun, terlepas dari berbagai komentar di atas, Gayus juga tetap manusia biasa yang pastinya tak luput dari khilaf dan dosa. Bukankah sifat dan sikap salah merupakan fitrah manusia? Karenanya, sebagai manusia sudah selayaknya kita berkewajiban mengingatkan orang-orang yang hatinya sedang “Jauh dengan Alloh” ini. Bukan malah menjustifikasi kesalahan dengan kemarahan dan cacian. Sebab, pada hakikatnya yang berhak menghukum orang-orang bersalah adalah Sang Kholiq, Alloh SWT. Di sini lah letak keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang tiada bandingannya yaitu hukum akhirat. Dunia merupakan proses pembelajaran manusia menuju kepantasan dalam mendiami syurga-Nya. Sampai kapan pun keadilan tetap tidak bisa dibeli.

 

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Buletin Ikhlas.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

Isteri Shalehah, Kenapa Tidak!

Standar

Isteri sholehah merupakan perhiasan dunia. Karenanya, tak sedikit wanita yang berlomba untuk mendapatkan gelar tersebut. Pahala yang berlimpah serta jaminan syurga merupakan gula bagi para wanita di seluruh alam. Namun, tak mudah pula kiranya mendapatkan gelar yang didamba itu. Terlebih pada zaman yang dikatakan orang sebagai “zaman emansipasi wanita”. Di mana setiap wanita berhak melakukan apapun yang mereka mau tanpa batasan peran suami atasnya. Salah satu alasan yang  membooming adalah adanya Hak Asasi Manusia yang selalu digulirkan dan berusaha diboomingkan oleh orang-orang di luar sana, khususnya dunia Barat.

Meskipun demikian, perkembangan zaman tetap tidak bisa kita hindari. Begitu juga dengan hadirnya konsep emansipasi di kalangan masyarakat. Mengingat waktu akan terus berjalan dan kita tidak bisa mundur barang sedetikpun. Itu sebabnya dalam al Qur-an banyak menggunakan sumpah dengan kata waktu. Salah satunya tercantum dalam surat al-Asr “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Asr: 1-3)

Semua orang akan merugi kecuali orang yang beriman, mengerjakan amal soleh dan saling menasehati dalam hal kebenaran dan kesabaran. Itulah inti dalam surat di atas. Oleh sebab itu menjadi isteri sholehah merupakan keharusan bagi setiap wanita. Tentu agar wanita Muslim tidak berada dalam kerugian bersama tenggelamnya waktu.

Lantas apakah mungkin menjadi isteri sholehah di tengah-tengah masyarakat yang “greget” dengan pengaruh emansipasi wanita itu? Di tengah-tengah kesibukan kantor dan pekerjaan di luar rumah yang menumpuk? Jawabannya, kenapa tidak!

Hadirnya konsep emansipasi harus diseleraskan dengan konsep isteri sholehah yang tidak memandang wanita sebelah mata, karena pada dasarnya derajat wanita akan tetap lebih tinggi dari pada laki-laki, sebagaimana Rosul berucap, ummuka, ummuka, ummuka, tsumma abuka. Berlaku adillah atas waktumu, jika kamu menghendaki syurga-Nya.

Alloh SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8)

 

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di Buletin Ikhlas.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

PANGGILAN HP VS PANGGILAN ORANG TUA

Standar

PANGGILAN HP VS PANGGILAN ORANG TUA

Oleh: Lina

Pada era teknologi seperti sekarang ini, hand phone atau biasa kita kenal dengan HP  tampaknya merupakan salah satu alat yang sangat dibutuhkan manusia. Hal itu dapat dibuktikan dengan semakin banyak orang yang menggunakan HP. Dipegang dan digunakan oleh berbagai usia. Dari kanak-kanak hingga orang dewasa, dari tukang becak hingga pegawai kantoran. Alasannya adalah guna meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan dengan cepat dan meningkatkan produktivitas manusia dengan mudah.

Namun, kehadiran HP yang hakikatnya untuk memberikan manfaat itu, ternyata dapat membuat manusia “autis” dengan kondisi lingkungannya. Merasa nyaman dan tenang jika HP berada di genggaaman. Tak heran, jika salah satu iklan di media elektronika menggambarkan saking asyiknya orang bermain HP, ia lupa dan bahkan “tak sadar” dengan keberadaan dirinya sendiri. Menggunakan dasi orang lain untuk mengusap kotoran hidungnya dikarenakan “lalai” dengan penggunaan HP yang sesungguhnya. Sadar atau tidak, hal ini pula mungkin akan terjadi pada kita semua, si penguna aktif HP. Menggunakan HP dengan tanpa batas, tidak tahu tempat dan waktu, jelas akan mengakibatkan kelalaian.

Panggilan HP dari nada dering yang beragam telah “melalaikan” orang dari keadaan yang sedang dialami di kehidupan sekitarnya. Betapa tidak, orang bisa lari pontang panting ketika nada itu berbunyi, baik SMS maupun nada panggilan masuk. Bahkan dalam kondisi yang sulitpun mereka rela menggapai dan menyahutinya. Realitas ini berbeda jauh dengan kondisi ketika orang tua kita memanggil dan terkadang meminta sesuatu untuk melakukan hal tertentu pada sang anak. Panggilan pun dilakukan tidak cukup satu kali demi mendengar jawaban atau sahutan dari buah hati. Sungguh sangat menghawatirkan akhlak manusia, terlebih bagi kaum Muslim. Sebab bagaimanapun juga derajat orang tua lebih dari segalanya. Singkatnya, setelah mencintai Alloh sebagai Sang Kholiq, Rosul saw sebagai utusan-Nya, kemudian orang tua sebagai pembimbing dan pemelihara kita dari kecil hingga besar.

Sebagaimana firman Alloh SWT: “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia (Alloh), berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa.” (QS. al-An’am: 151) “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. al-Isro: 17)

Dari kedua ayat al Qur-an di atas, kita tahu bahwa kedudukan orang tua berada di bawah kedudukan Alloh SWT. Artinya, panggilan orang tua harus lebih diutamakan daripada panggilan HP. Segera penuhi keinginan orang tua ketika mereka memanggil kita. menempatkan orang tua pada kedudukannya yang sangat mulia.

Jangankan menolak permintaan atau perintah mereka, mengatakan “ah” saja dilarang. Itulah keistimewaan orang tua. Namun, meskipun demikian ada hal-hal yang harus diperhatikan ketika kita hormat dan patuh pada mereka. Sebab, ada alasan tertentu yang Alloh jelaskan dalam al Qur-an untuk tidak menuruti aturan dan perintah mereka. Yaitu,  jangan menuruti perintah orang tua yang mengarahkan kita pada kekafiran dan jauh dari Alloh SWT.

Seperti dalam firman-Nya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15)

            Oleh karena itu, marilah kita berlaku adil terhadap benda yang kita miliki,  menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah hal yang terbaik bagi manusia, termasuk memperlakukan HP yang ada di genggaman kita.

Panggilan HP memang perlu dijawab, namun panggilan orang tua lebih penting darinya. Karena itu, mulailah dari sekarang “menyahuti dengan segera” segala panggilan orang tua kita apabila tidak menyalahi aturan agama maupun negara.  Semoga kita semua termasuk manusia yang dapat memanfaatkan HP pada porsinya dan tidak melalaikan kewajiban kita yang lain. Amiin.***

By: Sri Lina Qomariyah—Lina Sellin

HILANGNYA ESENSI TAMAN KOTA

Standar

HILANGNYA ESENSI TAMAN KOTA

Oleh: Sri Lina Qomariyah

Taman kota dibangun tidak lain untuk membuat suasana kota asri, indah dan merupakan tempat bersantai bagi masyarakat, baik masyarakat sekitar, maupun dari luar kota yang sengaja datang untuk sekedar melepas lelah dan bercanda ria dengan orang-orang terdekat mereka. Tidak mengenal waktu, di hari libur atau tidak, setiap pagi, siang, sore dan bahkan malam hari taman terlihat ramai dan damai “menyapa” para pengunjung. Tak heran jika taman pun difungsikan untuk mencegah derita global warming. Menjadi udara bagi sumpeknya alam yang sudah tidak stabil lagi. Menjadi nafas bagi kehidupan yang kian panas. Menjadi penenang bagi jiwa yang sedang kelabu. Tempat istirahat yang nyaman dan tidak dipungut biaya sepeserpun adalah taman kota.

Namun, terlepas dari semua manfaat yang sudah disebutkan di atas, tak sedikit orang yang menyalahgunakan fungsi taman. Pemandangan yang sering terlihat dan tampaknya terabaikan begitu saja. Sampah beterbangan di mana-mana. Sampah berbentuk materi maupun sampah masyarakat dengan perbuatan yang “kotor”. Aksi tak bermoral kerap kita temui dan seolah dianggap bukan urusan kita. Gerakan yang mengarah pada perbuatan zina. Sebagaimana kita ketahui, mendekati zina sangat dilarang oleh agama. “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al- Isro: 32)

Dari ayat di atas dijelaskan mengenai larangan mendekati zina, sebab zina merupakan perbuatan keji. Barang siapa yang menjauh dari perbuatan keji maka baginya akan dihapuskan dosa-dosa dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mulia. Sebagaimana Firman-Nya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

Memang, yang melakukan perilaku bejad ini hanya segelintir orang yang tidak bertanggungjawab terhadap etika dan agama. Tapi seperti yang kita ketahui bersama, tinta setetes akan merusak kertas putih yang luas. Inilah yang terjadi di taman kota saat ini. Esensi dibangunnya taman kota akan hilang dengan terjadianya pembiaran tradisi tak berakhlaq tersebut. Bila dibiarkan, bukan hanya merusak moral pemuda masa depan kita, moral kota bahkan bangsa dalam skala luas akan tercemar di hadapan bangsa lain dan lebih memalukan di hadapan Tuhan. Kotoran-kotoran inilah yang harus kita basmi dari bumi pertiwi.

Realitas yang harus dibasmi hingga ke akar-akarnya. Sebab jika terus dibiarkan, selain merusak moral, jelas akan mengganggu kondisi “keislaman” kita yang mempunyai kewajiban membasmi hal yang munkar. Menjaga kehormatan manusia dari perbuatan a moral, bukan hanya kewajiban diri sendiri saja, melainkan tugas dan kewajiban kita bersama sesama Muslim. Dijelaskan dalam hadits Rosul saw: “Jika kamu melihat kemungkaran, maka basmilah dengan tanganmu, jika tidak mampu maka basmilah dengan lisanmu, dan jika tidak mampu pula maka basmilah dengan hatimu. Dan itu merupakan selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim)

Hadits di atas merupakan anjuran kita untuk berani menegakkan kebenaran. Ditawarkan pula beberapa alternatif dalam melakukan pembasmian terhadap kemungkaran. Yaitu dengan tangan, lisan dan hati.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. an-Nur: 30-31)

Selain itu, sudah menjadi tugas manusia untuk menjaga bumi-Nya, baik dari kotoran materiil, yang merusak bumi secara fisik, maupun kotoran non materiil yang merusak ibadah manusia pada Tuhan. Sebagaimana terdapat dalam firman-Nya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al An’Am: 165)

Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang kewajiban bersama dalam membasmi hal munkar yaitu terdapat dalam surat ali Imron ayat 104 yang berbunyi: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Alloh. Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Oleh karena itu, menegur dengan lemah lembut adalah hal yang harus kita lakukan kepada semua orang yang sedang melakukan hal buruk, seperti mendekati zina dsb, dalam konteks ini adalah bagi para penghuni taman, namun tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi di pusat perbelanjaan, tempat keramain dan lain-lain.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125)

Mudah-mudahan kita semua termasuk golongan orang-orang yang selalu berbuat baik dan menyeru pada kebaikan dengan jalan yang baik pula. Mampu memposisikan kehadiran diri manusia di bumi sesuai fungsinya sebagai kholifah fil ardh.  “Dan Aku (Alloh) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. adz-Dzariat: 56) Amiin.***

By: Sri Lina Qomariyah—Lina Sellin

MARI KITA BERBENAH DIRI

Standar

MARI KITA BERBENAH DIRI

 

Perbuatan buruk beragam jenisnya. Dari mulai perbuatan yang tampak oleh mata dzohir sampai ke perbuatan yang tidak terlihat. Jika perbuatan buruk yang tampak oleh mata ini dapat diketahui secara jelas, maka perbuatan yang tak terlihat ini tersimpan halus “menggerogoti” amalan-amalan lainnya yang dapat dilakukan dengan seluruh anggota badan manusia.

Qolbu atau yang kita kenal dengan istilah hati memiliki beberapa problem di antaranya adalah 1) Berkarat.  2) Tertutup “Alloh telah mengunci-mati hati dan pendengaran merekadan penglihatan mereka ditutupdan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqoroh: 7) 3) Mengeras “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (QS. Al-Baqoroh: 74) 4) Berpenyakit  “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Alloh penyakitnya”. (QS. Al-Baqoroh: 10) 5) Buta “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Haaj: 46) 6) Kasar “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159)

Salah satu  sikap yang dapat “menggerogoti” amal manusia di atas adalah penyakit hati,  yaitu sikap iri dengki. Sikap ketidaksenangan terhadap kebahagiaan orang lain. Sikap ketidakpuasan dan hilangnya rasa syukur atas apa yang telah Alloh SWT berikan kepadanya. Sikap ini sangat berbahaya dan merugikan manusia,  baik bagi diri sendiri maupun orang lain. sebab fungsi qolbu yang sesungguhnya akan terganggu dan bahkan terhenti sama sekali.

Bagaimana hal ini terjadi? Sebab hati merupakan sumber penilaian seseorang terhadap segala tindakan. Hati merupakan parameter manusia dalam bertindak. Hati merupakan penghubung manusia dengan Tuhannya.  “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS. Al-Anfaal: 24) Oleh karena itu, marilah kita berbenah diri untuk menghindari sikap iri hati dengan  menjadi diri yang lebih baik. Berada dalam jalan yang lurus (Shirotol musraqiim). Jauh dari kemaksiatan dan terhindar dari perbuatan buruk.

Melakukan semua yang dikehendaki Tuhan dengan baik, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tentu, perlu bimbingan dan pengajaran yang matang.  Perlu lingkungan yang mendukung. Perlu “majelis” yang mampu mengarahkan kita pada keadaan yang baik tersebut. Karenanya, pada edisi kali ini, kami mencoba menyuguhkan tulisan tentang bagaimana cara menghindari diri dari penyakit hati dan bimbingan ibadahnya dengan tulisan tentang tempat-tempat yang dapat mengantarkan kita pada jalan-Nya.

By: Sri Lina Qomariyah—Lina Sellin

PENGAMAT BUKAN PELAKU-PENONTON BUKAN PEMAIN

Standar

PENGAMAT BUKAN PELAKU-PENONTON BUKAN PEMAIN

Oleh: Lina

Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di sebrang laut terlihat. Inilah salah satu  pribahasa yang pas untuk dianalogikan pada kondisi bangsa kita saat ini. Orang-orang ramai membicarakan dan membahas perihal kekurangan dari seorang pimpinan negara (presiden) yang sekaligus merupakan icon Indonesia. Mereka menuntut segala sesuatunya agar berjalan instan dan kun fa yakun tanpa mau tahu kondisi bangsa dan kapasitas manusia yang memang tidak akan pernah bisa sempurna sampai kapanpun.

Kita semua tahu bahwa merubah negara menjadi lebih baik, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Semua butuh proses dan penuh stratak (strategi dan taktik) yang matang. Berbagai “bendera” pun muncul mengatasnamakan “demi menyelamatkan” bangsa. Apa yang akan diselamatkan? Pergantian pimpinan yang tidak seimbang justru akan membuat kondisi semakin tidak stabil. Arus politik ikut tidak terkendali dan  pengeluaran negara bertambah banyak dikarenakan pemilihan pimpinan kembali yang kurang efektif dan beulang-ulang. Hal ini dapat mengakibatkan roda ekonomi tak berjalan sesuai yang diharapkan.

Koalisi yang dikatakan mereka (orang-orang partai) sebagai dukungan dan alternatif untuk bergabung dengan sang icon number one guna memajukan bangsa itu, justru seolah berdiri sendiri-sendiri. Mereka berdiri atas kepentingan bendera partai yang telah men-duduk-kan-nya pada kursi-kursi kepemerintahan sebagai alasan untuk balas budi. Ruang-ruang kebangsaan seolah sepi dari gelora nasionalisme. Virus individualisme pun muncul sebagai penggantinya. Padahal, Indonesia menganut politik Pancasila. Artinya tidak berpihak pada salah satu golongan dan tidak mengenal politik balas budi seperti yang diajukan Jepang pada saat Negri kita belum merdeka. Lantas, jika pun politik balas budi terjadi, sebenarnya mereka pendukung atau malah menjadi penghalang bagi kemajuan Indonesia?

Benar, pada dasarnya di dunia ini tak akan lepas dari apa yang dinamakan perbedaan. Bahkan Rosul pun mengatakan dalam salah satu haditsnya bahwa perbedaan merupakan rahmat. Perbedaan merupakan dinamika kehidupan. Perbedaan bukan berarti menyuruh untuk saling membenci dan mencaci orang lain yang berbeda pandangan, kelompok atau beda agama. Tapi, perbedaan harus disikapi dengan bijak dan legowo. Perbedaan yang dapat menjadikan kehadirannya rahmat adalah perbedaan yang dapat mempersatukan hal yang terpisah. Menyatukan berbagai suku atas satu nama ke bhineka tunggal ika-an yaitu bangsa Indonesia.

Pengamat memang bukan pelaku, penonton memang bukan pemain. Orang-orang menghujat dan mengkritisi dengan lantang segala hal yang dilakukan para pemimpin, termasuk Presiden. Sekecil apapun kealfaannya selalu menjadi topik terhangat di berbagai media. Tampaknya, kita lupa bahwa “lupa” adalah bagian dari fitrah manusia “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa” (al Hadits). Oleh karena itu Islam hadir di muka bumi ini tiada lain untuk mengingatkan manusia tentang kebenaran. Islam tidak pernah memaksa manusia untuk ikut ke dalam risalah Muhammad saw. Islam tidak menghendaki kekerasan, baik kekerasan dalam hal ucapan maupunn tindakan. Sebaliknya, Islam mengajarkan kedamaian “as Sulhu Khoir” (damai itu indah). Islam selalu berperilaku lembut terhadap penganutnya. Pantaslah bila Islam pun dikatakan sebagai Rohmatan lil ‘Alamain.

Sebagai pimpinan negara, pasti akan berusaha menempatkan diri pada porsi yang semaksimal mungkin. Melakukan hal yang terbaik bagi bangsa yang dipimpinnya. Dan karenanya, jika ia lupa, maka kewajiban kita mengingatkan. Jika ada yang kurang dalam tindakannya, maka kewajiban kita menambahkan. Bukan malah mengkritisi tanpa memberikan solusi. Mengomentari segala hal yang diperbuat sang pemimpin tanpa ikut membantu dan mendoakannya (usaha dan berdoa).

Kewajiban kita sebagai warga negara adalah membantunya memecahkan problema yang sedang melanda bangsa. Ikut menjadi pelaku pembangunan itu lebih baik daripada hanya bertindak sebagai pengamat. Ikut menjadi pemain dalam lapang yang luas lebih baik daripada hanya menjadi penonton di tribun yang pasif atau jika aktif, malah kebablasan. Atau berusaha dahulu secara maksimal. Artinya, hendaklah introspeksi diri. Jangan menuntut kepada orang lain secara berlebih. Perlu diingat, kewajiban manusia sebagai hamba Alloh SWT selain berusaha maksimal, juga berdoa kepada Sang Pencipta, bukan meminta pada orang lain, sehingga kita dapat berperan sesuai fungsinya masing-masing.

Jika DPR berfungsi sebagai pengawas pemerintahan, maka awasilah dengan cara yang baik. Berlaku adil pada seluruh golongan dan berjuanglah untuk bangsa, bukan hanya untuk perut sendiri atau golongan. Mengawasi pada hakikatnya bukan hanya melihat kecacatan pemerintah, namun juga mencari solusi dari permasalahan yang ada, seperti dengan mengusulkan Undang-Undang yang kemudian nanti dirapatkan dalam sidang DPR. Semua hal harus diperjuangkan untuk rakyat tanpa terkecuali.

Bagaimanapun juga, seorang pemimpin merupakan wakil Tuhan bagi hamba-Nya di bumi ini. Karenanya kita pun wajib mentaati perintah dan kebijakannya selagi tidak menyeleweng dari al Qur-an dan Hadits. Sebagaimana tercantum dalam firman-Nya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa: 59)

Sedangkan cara menyeru kepada jalan Tuhan (kebenaran) yaitu dengan cara yang baik dan hikmah atau bijaksana, begitu pula jika ingin membantah suatu kebijakan, maka tetap harus dilakukan dengan cara yang baik. Inilah ajaran Islam yang sesungguhnya. Alloh SWT berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. an-Nahl: 125).

Rosululloh saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah melakukannya terang-terangan. Namun, hendaklah dia menasihatinya secara sembunyi-sembunyi. Jika (nasihat) diterima, maka itulah yang diharapkan. Namun, jika tidak diterima, maka dia (si pemberi nasihat) telah menunaikan kewajibannya.” (HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad, vol: 3, halaman: 403-404, no: 15.369; Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, dll.). Begitu pula dalam kitab As-Sail Al-Jarrar, vol: 4, halaman: 556, Imam Asy-Syaukani berkata, “Orang yang melihat kesalahan seorang pemimpin dalam beberapa masalah, maka hendaklah dia memberikan nasihat kepadanya dengan cara tidak menampakkan kejelekannya di depannya dan di depan khalayak”.

Jadi, kita sebagai penonton atau pengamat tidak seharusnya menjudge negatif seseorang, baik itu pemimpinn maupun masyarakat biasa. Sebab perbuatan ini dapat mengarah pada perbuatan prasangka dan akhirnya menjadi fitnah. Sedangkan Alloh SWT sangat melarang keras perbuatan-perbuatan ini. Karena akibat yang ditimbulkan dari prasangka dan fitnah bukan hanya pada diri sendiri, namun dapat berakibat fatal pada orang lain pula.

Pengamat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai seseorang yang berusaha mengamati sesuatu. Dalam definisi tersebut disebutkan kata “berusaha”, sehingga untuk menjadi seorang pengamat pun tidak mudah. Tidak asal bicara. Ia harus memiliki kecakapan di bidang yang sedang diamati. Ia juga harus bijaksana. Artinya Ia  harus “bersih” dari segala hal, terutama bersih dari bendera apapun. Ia harus berlaku adil dan tidak mendukung atau menolak kehadiran bendera-bendera yang ada. Sebab jika ini terjadi, maka pengamat secara langsung maupun tidak telah memaksakan pendapatnya sendiri, dan jika apa yang telah diprediksi oleh pengamat itu salah atau berbeda di lapangan, maka pada hakikatnya ini pun telah mengedepankan suudzon (berprasangka buruk). Padahal Islam sangat melarang dengan keras perbuatan mencela, berburuk sangka dan terlebih fitnah.

Alloh SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.  (QS. Al Hujuroot: 11)

Dari ayat di atas dipaparkan pada kita semua agar menjauh dari sikap merendahkan orang lain, sebab yang ditertawakan atau direndahkan bisa jadi derajatnya lebih tinggi dibanding manusia yang menertawakan dan merendahkan itu. Jadi, seorang pengamat tidaklah punya kewenangan untuk merendahkan, mencela, menghina, dan mengedepankan unsur fitnah pada orang yang sedang diamati, sebab jika hal ini terjadi dan ternyata berbeda di lapangan atau tidak sesuai kenyataan, maka perbuatan ini dapat dikatakan sebagai fitnah. Sedangkan ftnah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Alloh SWT. “Dan berbuat fitnahlebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS. Al-Baqoroh: 217)

Selain itu, prediksi yang salah dapat menimbulkan prasangka buruk, dan berbuat prasangka dilarang oleh-Nya, sebab perbuatan ini tiada mengandung manfaat sedikitpun. Alloh SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujuroot: 12)

Juga, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Alloh adalah besar.  Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Alloh mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nur: 11,15,19)

Dari ayat di atas, sudah cukup bagi kita bahwa menceritakan apalagi menjudge orang lain dengan keburukan merupakan suatu hal yang tidak dianjurkan oleh Islam. Bahkan jika ini terus  dilakukan maka fitnah lah yang akan mendekati mereka. Sementara kita tahu bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Oleh karena itu, jika kita masih “bersih keras” menggugat orang yang dikira “melakukan kesalahan” dengan tanpa prosedur yang benar atau oleh orang yang tidak memiliki hak atas perilaku itu, maka secara sadar maupun tidak kita telah melakukan fitnah. Naudzu billah tsumma naudzubillah.

Semoga Alloh melindungi kita dari fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, serta mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua dan para ulama kita. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mau bertindak dan bukan hanya menjadi pengamat atau penonton bagi bangsa kita. Tidak lupa pula semoga Alloh memberikan taufiqNya kepada para penguasa Muslim agar mereka memberikan yang terbaik bagi negeri dan rakyat mereka, dan lebih dari itu semoga Alloh menolong para penguasa Muslim tersebut untuk berhukum dengan al Qur-an dan Sunnah Nabi-Nya. Semoga Alloh memberikan sholawat dan salam-Nya kepada Nabi kita Muhammad saw, beserta keluarganya.  Amin.***

By: Sri Lina Qomariyah—Lina Sellin