Shalat dan Hati yang Mendua

Standar

Tak pernah meninggalkan shalat, tapi mengapa masih berbuat keji?

Dalam surat Al ‘Ankabut ayat 45 dijelaskan bahwa, jaminan bagi orang-orang yang melaksanakan shalat adalah dapat terhindar dari perbuatan keji dan munkar. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”

Shalat juga harusnya dapat mengentaskan kemiskinan melalui perintah zakat yang disandingkan dengan perintah shalat, “dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Qs. Al-Baqarah: 110).

Namun, di negara yang mayoritas penduduknya muslim, Indonesia misalnya—yang notabenenya minimal melakukan shalat lima waktu dalam sehari, kasus kejahatan masih tergolong tinggi. Pengemis masih banyak kita temui di jalanan, atau bahkan di rumah ibadah sekalipun, masjid. Kemiskinan masih merajalela di mana-mana. Anak yatim masih banyak yang belum tersantuni. Pejabat yang korup masih tersebar di hampir seluruh ranah kepemimpinan negeri ini. Para pelaku shalat masih banyak yang akhlaknya tidak dapat dicontoh.

Lantas, bagaimana sederet kasus tersebut masih saja terjadi? Apa yang salah? Apakah Allah keliru saat memberikan perintah berupa shalat? (Maha benar Allah atas segala firman-Nya). Atau manusianya yang ternyata masih belum benar melakukan perintah shalat?

Terkait ini, Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili r.a. dalam Taj Al-‘Arus, mengatakan bahwa “Keadaan dirimu bisa diukur melalui shalat. Jika engkau meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi maka kau bahagia. Tapi, jika tidak, tangisilah dirimu.”

Ibnu Atha’illah, masih dalam Taj Al-‘Arus, mengatakan, “Jika engkau tidak menunaikan shalat dengan khusyuk dan tenang, sesalilah dirimu! Sebab, orang yang duduk dengan pemilik kesturi, ia akan dapatkan wanginya. Sementara, ketika shalat, sesungguhnya engkau duduk bersama Allah. Jika engkau ada bersama-Nya tetapi tidak mendapatkan apa-apa, berarti ada penyakit dalam dirimu, mungkin berupa sombong, ujub, atau kurang beradab. Allah Swt. berfirman, ‘Akan Ku-palingkan dari ayat-ayat-Ku orang yang bersikap sombong di muka bumi dengan tidak benar.’ (Qs. Al-A’raf 7: 146).

Barangsiapa yang ingin mengenal hakikat dirinya di sisi Allah dan mengetahui keadaannya bersama Allah, perhatikanlah shalatnya. Apakah ia melakukan shalat dengan khusyuk dan tenang atau dengan lalai dan tergesa-gesa?”

“Segalanya menjadi tak berguna ketika kita bertemu dengan-Nya (shalat), kecuali orang yang menghadap Allah dengan kalbu yang sehat,” lanjutnya.

Kalbu yang sehat adalah yang hanya bergantung kepada Allah. “Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri seperti pertama kali Kami ciptakan. Lalu kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) ini apa yang telah Kami karuniakan kepadamu.”

Dapat dipahami bahwa manusia baru bisa datang kepada Allah dan sampai kepada-Nya jika ia datang seorang diri, tanpa apa pun selain Dia (Allah). Allah berfirman, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai yatim, lalu Dia memberikan perlindungan?”

Maksudnya, Allah akan melindungimu jika kau benar-benar yatim dari segala sesuatu selain Dia. Nabi Saw. bersabda, ‘Allah itu ganjil (tunggal), senang kepada yang ganjil.’ Artinya, Dia menyenangi hati yang tidak menerima dualisme. Hati itu hanya untuk Allah. Dengan pertolongan Allah, orang yang berada di hadapan-Nya dan mendapat curahan nikmat-Nya dapat memahami. Maka, bagaimana mungkin mereka akan bersandar kepada selain Dia, sementara mereka telah menyaksikan wujud ke-esaan-Nya.”

Dalam firman-Nya, Allah pun menggambarkan kalbu yang sehat dengan peringatan, “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga dada.” (Qs.Al-Ahzab ayat 4)

Artinya, seseorang yang shalat, namun perbuatannya masih jauh dari ridha-Nya, sesungguhnya perbuatan itu tak ubahnya seperti burung yang sedang mematuk-matuk paruhnya. “Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.”

Oleh karena itu,shalat yang hanya menggunakan raganya dengan tidak menyertakan hati di dalamnya (khusyuk), pada dasarnya tidak akan mendatangkan apapun, termasuk pada pahala dan nilai kebaikan akhlak. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda, “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”

Shalat pada dasarnya tidak secara otomatis dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana tecermin dalam sabda Rasul Saw. “Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran.” Artinya, shalat dapat menghasilkan kebaikan akhlak, jika perbuatan shalat itu sendiri dilakukan dengan baik dan benar, sesuai syariat (fikih) yang berlaku, juga harus dengan kesadaran penuh akan hadirnya hati dalam rongga dadanya. Sehingga si pelaku shalat tidak akan membagi hatinya untuk hal lain selain Allah.

Shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak keseharian kita. Jika tidak, sesunggunya hati kita telah mendua, sebagaimana yang disebut dalam surat Al- Ma’un sebagai golongan orang yang lalai. “(Neraka) Wail bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang riya (tidak ikhlas karena Allah dan pamer). Dan menolak memenuhi keperluan dasar orang.”

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Futuh Al-Ghayb, mengatakan bahwa, jiwa seseorang pasti berada dalam salah satu dari dua kondisi. Yakni, selamat atau celaka.  Jiwa dikatakan selamat apabila ia menyadari akan adanya kenikmatan yang jauh lebih besar ketimbang kenikmatan di dunia yang serba fana. Makanan, minuman, pakaian, harta, tahta, dan segala jenis yang dianggap sebagai kenikmatan manusia mampu ia singkirkan jauh dari pandangan hatinya.

Sementara itu, jiwa dikatakan celaka adalah jiwa yang tidak ridha terhadap segala ketentuan Allah atas hidupnya, dan mendua di saat perjumpaan dengan-Nya.

Dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa rasul Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah cemburu, demikian juga orang mukmin. Kecemburuan Allah timbul apabila hamba yang mukmin melakukan perbuatan yang diharamkan-Nya.” (H.R. Muslim)

Bahkan, dalam Mukaddimah Jauharul-Haqa’iq karya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, dijelaskan bahwa sungguh dzalim, orang-orang yang tidak mengetahui kapasitas dirinya sebagai hamba ketika menjumpai-Nya dalam (shalat). “Apa sebenarnya yang membuatmu tidak meng-esa-kan Allah Swt. dalam shalat? Dengan tauhid hakiki (tauhid al-haqiqi), yang merupakan benteng-Nya yang hakiki pula?”

Boleh mengcopy, asal mencantumkan link tulisan ini.

(Lina Sellin)

Tinggalkan komentar