Takwa Sang Perampok  

Standar

Dan ada pula orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, namun masih mencampuradukkan pekerjaan yang baik dan pekerjaan lain yang buruk—Qs. At-Taubat: 102 

Fudhail merupakan pemimpin sebuah kelompok para perampok kelas kakap. Ia begitu dihormati dan setiap kata-katanya selalu dipatuhi. Namanya begitu terkenal di seantero Baghdad, sebagai seorang perampok kelas wahid—yang tidak segan-segan membunuh siapa pun yang melawan dirinya.

Meski begitu, ia tidak pernah sekali pun meninggalkan kewajibannya sebagai hamba Allah, seperti shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.

Suatu hari, sebuah rombongan besar melintas di hadapan tenda Fudhail dan kelompoknya. Seorang pemuda yang ada dalam rombongan itu sebelumnya pernah mendengar tentang garangnya para perampok di daerah itu.

Alhasil, ia pun berpikir keras untuk menyembunyikan tasnya yang berisi emas. “Aku harus menyembunyikan tas ini agar ketika mereka mencegat rombonganku, tas ini tetap selamat,” ucap sang pemuda dalam hati.

Tampak dari kejauhan ada seorang lelaki sedang melakukan shalat di balik pohon. Ia pun berpikir untuk keluar dari rombongan dan menitipkan tasnya kepada lelaki itu, yang tiada lain adalah Fudhail. Pemuda itu mengira Fudhail seorang asketis, sehingga ia pun tidak ragu untuk mempercayakan tasnya pada Fudhail.

Setelah menunggu beberapa waktu Fudhail mengusaikan shalatnya, pemuda itu berkata, “Saya ingin menitipkan tas ini agar tidak diambil para perampok nan kejam itu,”

“Pergilah, letakkan tasmu di bawah pohon,” kata Fudhail.

Tanpa berpikir panjang, pemuda itu pun menurut dan meletakkan tasnya persis di bawah pohon di dekat Fudhail, dan kemudian kembali ke barisan rombongannya yang telah dicegat para perampok.

Nyata saja, semua barang bawaan mereka telah dijarah. Anehnya, ia melihat Fudhail berkumpul dengan para perampok sambil membagi-bagikan barang jarahan mereka.

“Malang benar nasibku, menitipkan tas pada seorang pencuri!” gumam pemuda itu

Melihat pemuda itu dari kejauhan, Fudhail menyapanya. “Ambil tasmu dan pergilah!”

Sang pemuda kemudian bergegas ke tempat di mana ia menyimpas tas, mengambilnya lalu pergi.

Rekan-rekan Fudhail protes, “Wahai pemimpin kami yang mulia, mengapa kau bebaskan tas itu, padahal di rombongan itu kami tidak menemukan uang satu dirham pun.”

“Pemuda itu berprasangka baik padaku, dan aku berprasangka baik pada Tuhanku.”

“Bagaimana mungkin kau masih mempercayai Tuhan, sementara keseharianmu mencuri!” sindir salah satu anggota kelompok pencuri.

Fudhail tersenyum, “Sungguh, aku menantikan anugerah yang lebih besar daripada limpahan harta ini. Aku ingin Tuhan menganugerahkanku ketentraman batin.” Ujar Fudhail menjelaskan.

Esok harinya mereka mencegat rombongan lain dan menjarah barang-barangnya. Ketika mereka sedang duduk menikmati makanan, seorang lelaki dari rombongan itu mendekati mereka.

“Siapa pemimpin kalian?” tanyanya.

“Ia tidak bersama kami,” jawab para perampok. “Ia ada di balik pohon di tepi sungai, sedang shalat.”

“Tapi ini bukan waktunya shalat,” kata lelaki itu.

“Ia sedang melakukan ibadah sunnah,” seorang perampok menjelaskan.

“Dan ia tidak makan bersama kalian?” lelaki itu kembali bertanya.

“Ia sedang puasa,” jawab para perampok.

“Tapi sekarang kan bukan bulan puasa,”

“Sunnah juga.”

Lelaki itu begitu terheran-heran, dan segera mendekati Fudhail yang sedang shalat. Lelaki itu menunggu hingga Fudhail selesai shalat, lalu ia berkata, “Apa yang berlawanan tidak akan bisa bercampur. Bagaimana bisa seseorang bisa puasa dan merampok, shalat dan menyakiti hati orang lain pada saat bersamaan?”

Fudhail melihat lelaki itu, perlahan ia meneteskan mutiara kecil di pipinya, dan berkata, “Mungkin itulah yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya ‘Dan ada pula orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, namun masih mencampuradukkan pekerjaan yang baik dan pekerjaan lain yang buruk,’” (Qs. At-taubat: 102)

Lelaki itu heran dan tak bisa berkata apa-apa lagi.

——-

Abu Ali al Fudhail ibnu Iyadh al Talaqani merupakan seorang sufi yang lahir di Khurasan. Sebelum menjadi sufi, banyak riwayat menyebutkan bahwa ia adalah seorang perampok kelas kakap.

Konon, peristiwa di atas merupakan awal peralihan spiritualnya menjadi seorang sufi dengan jalan taubat.  Ia kemudian hijrah ke Makkah untuk mempelajari berbagai jenis ilmu, terutama ilmu hadis. Tak ayal, ia pun dikenal luas sebagai seorang perawi hadis terkemuka.

Bahkan, namanya juga terkenal sebagai seorang perawi yang berani menegur Harun Al Rasyid.

Fudhail wafat pada 187 H/803 M di Makkah.

 

Kisah ini diolah dari buku “Kisah-kisah Sufi Agung” karya Fariduddin Aththar.

Tinggalkan komentar