KITA HANYA PERLU MENGOSONGKAN WADAH

Standar

Jodoh, ilmu, dan harta, tak lain dan tak bukan merupakan salah satu bentuk rezeki. Sebagaimana air yang hanya bisa masuk ke dalam wadah (gelas) yang kosong, jodoh, ilmu, dan harta pun sama. Ia hanya akan bisa masuk bila kita bersedia mengosongkan wadah kita. Dan, wadah bagi manusia tak lain dan tak bukan adalah hati dan pikiran.

Maka, mau tak mau, suka atau tidak suka, kita harus mengosongkan dua hal itu. Mengosongkan dari rasa terbelenggu pada hati dan pikiran. Mengosongkan hati dan pikiran pada orang-orang yang mungkin dapat menghambat sampainya (masuknya) ilmu, harta, dan jodoh pada diri kita. Mengosongkan dari rasa marah, dendam, sakit hati, pada mereka yang mungkin bermuamalah kurang baik dengan kita.

Mudah? Siapa bilang? Justru ini sangat sulit. Teorinya mudah. Tapi praktiknya sangat sulit. Uang yang sudah kita tabung bertahun-tahun tiba-tiba harus raib karena kita salah mempercayai orang. Salah menitipkan amanah pada orang. Kita ditipu. Dikhianati. Jelas tidak mudah.

Namuuun, itulah hebatnya! Karena praktik itu tidak mudah, maka Islam menjadikan kedudukan “mengosongkan hati dan pikiran” ini paling tinggi. Konon, dalam bahasa tasawuf Imam Al-Ghazali mengelompokkan “kosong” ini di urutan yang paling tinggi:

tobat — sabar — faqir — zuhud — tawakal — mahabbah — makrifat dan ridha

Dalam bahasa agama, “mengosongkan hati dan pikiran” ini disebut ridha atau bisa juga dinamakan ikhlas. Ridha dengan ketetapan Tuhan. Betapa pahitnya jalanan yang kita lalui dalam hidup, tak memiliki arti bila tidak berujung pada sikap ridha.

Maka, pendek kata, kita hanya perlu mengosongkan wadah kita, supaya sesuatu yang lain kemudian bisa masuk dengan leluasa ke dalam wadah kita. Sesuatu itu bisa berupa harta yang lain, jodoh yang lain, atau bahkan ketenteraman jiwa kita. Dan, ini sulit (mustahil) kita raih kalau kita tidak mengosongkan wadah kita untuk menerima anugerah itu!

Wallahu a’lam.

Silakan meng-copy tulisan ini, asal menyertakan sumber.

Lina Sellin

 

KENAPA ALLAH TAK KABULKAN SEMUA DOA?

Standar

Sebagai orangtua, rasanya kita ingin sekali mengabulkan semua permintaan anak. Ya, semua. Tapi, kadang yang diminta anak justru sesuatu yang kita—sebagai orangtua—anggap bahaya. Itu sebabnya, kadang juga dengan terpaksa—berat hati—harus menolak. Meskipun si anak menangis, meronta, bahkan disertai kesal-kecewa-marah.

Misal bayi, anak usia 3 tahun, meronta meminta sepeda motor. Sebagai orangtua yang mungkin berkecukupan dan punya kemampuan mengabulkan permintaannya, sudah pasti ingin membelikannya. Tapi ketika dipikir, tentu saja anak usia 3 tahun takkan mampu mengendarai sepeda motor bahkan malah bisa membahayakannya. Alhasil, meski mampu, kita akan memilih untuk menolak permintaannya.

Pun begitu (mungkin) dengan Tuhan, yang menurut banyak riwayat dikatakan memiliki kasih sayang yang jauuuh melebihi orangtua.

Banyak hal, yang kita, manusia minta, “sengaja” tidak dikabulkan karena “mungkin” jiwa kita belum mampu menerimanya. Jiwa kita belum sanggup memikul “derita” yang bakal terjadi apabila permintaan kita terkabul.

Itu sebabnya, konon Sayyidina Ali r.a. selalu bersyukur atas segala doa yang Allah “tolak”. Para sahabat merasa heran kemudian bertanya, “Wahai Ali, kenapa engkau justru bersyukur atas apa yang tidak Allah kabulkan?”

Dengan tersenyum Ali menjawab, “Bagaimana mungkin saya tidak bersyukur sementara dengan tidak dikabulkannya doa, itu pertanda bahwa Allah tengah menyelamatkanku dari musibah yang jauh lebih besar?”

TIGA KEGELAPAN NABI YUNUS

Standar

hqdefault

Gambar diambil dari YouTube

Bila kau merasa bahwa kondisimu gelap gulita, tak ada teman dan kawan. Tak ada keluarga dan kerabat mendekat. Jalan seolah tlah buntu. Coba ingat kisah Nabi Yunus.

Dalam kondisi kalut yang luar biasa, marah dan kecewa pada kaumnya yang ingkar, ia pun mencoba untuk meninggalkan semua “hidup”nya. Namun alih-alih bisa “terbebas” dari kekalutan masa lalunya itu, Allah justru “menceburkan”nya pada 3 kegelapan sekaligus! Kegelapan perut paus, kegelapan laut, dan kegelapan malam.

Lalu, apa yang dilakukan Nabi Yunus? Marah pada Tuhan? Kecewa pada Tuhan? TIDAK. Ia justru memilih untuk sujud memohon ampun. Ya, sujud dengan sepenuh sujud disertai linangan air mata.

“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim,” rintihnya berulang-ulang.

Dengan penuh penyesalan, ia mengaku bahwa memang dirinya telah berbuat zalim.

Dan karenanya, bisa jadi, kondisi “sulit” yang kita alami saat ini, tak lain adalah buah kecongkakan kita sendiri, yang lupa untuk menundukkan kepala jauh … jauh … jauh dari semestinya. Tobat. Mohon ampun. Mengaku bahwa kita memang lemah, dan hanya dengan bantuan-Nyalah, kita bisa mengembara di bumi-Nya.

Wallahu a’lam.

Indahnya Hidup (Tanpa) Cangkang

Standar

images

Gambar diambil dari OretOret.Com

Biaya hidup itu mahal, Bro! Butuh makan, butuh minum, dan tentunya butuh gaya!

Catet, GAYA!

Begitu kira-kira teman saya berusaha menjeleskan dengan berapi-api, bahwa betapa hidup ini sungguh amatlah sulit dijalani. Bagi dia, yang bukan cuma harus mengisi perutnya sendiri, tapi juga istri dan anaknya–hidup ini penuh liku, dan karenanya harus “pinter” menggilas sana-sini. Bahkan bila perlu, harus menggunakan topeng untuk bisa meng-goal-kan target hidupnya.

Demi harga diri, katanya. Juga, demi image di mata publik. Image di mata teman, keluarga, dan tentu di mata siapa saja yang “melihat” kehidupannya.

Lanjutnya, bila orang lain “sanggup” makan di resto ternama, lalu kenapa kita tidak? Bila orang lain “bisa” memakai pakaian branded, kenapa kita tidak? Dan bila teman kita “sanggup” berlibur “menikmati” alam bebas di luar sana, kenapa kita tidak? Meski harus gali lubang tutup lubang, pinjam sana sini, atau bahkan mengencangkan perut selama sebulan penuh, tak masalah, asal bisa memajang foto “keren” mengikuti tren jaman now!

Mendengar “celotehan” teman saya ini, saya kemudian teringat akan petuah Mevlana Rumi, bahwa alangkah indahnya hidup bila dijalani tanpa cangkang. Dan, kita memang sudah semestinya hidup tak bercangkang. Sebab, cangkang bukan hanya “memberatkan” langkah kita untuk maju menemui-Nya, tapi juga lebih dari itu–kita ternyata “tertipu” oleh bentuk cangkang kita sendiri. Dan, bukankah hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah karena “ditipu”? Dibohongi? Dikhianati?, apalagi oleh sosok “diri sendiri”.

“Bila makrifat kepada Dzat ingin kau dapat, lepas aksara, galilah makna.
Bila kau bijak, ambilah mutiara dari cangkangnya … jangan terpaku pada kulit …” (Mevlana Rumi)

KALA MAUT MEMANGGIL

Standar

Dunia-Yang-Membuat-Lupa-Mati-715x400Gambar ini diambil dari Khotbah Jumat

 

“Siapa saja yang tidak rela menerima ketetapan-Ku (takdir-Ku) dan tidak sabar menghadapi ujian-ujian-Ku kepada dirinya, silakan cari saja Tuhan selain Aku.” 

[HR Ath-Thabrani dan Ibnu ‘Asakir]

Hadis ini pertama kali saya dengar sesaat sebelum ibu saya dimakamkan, dan saya pingsan berkali-kali karena merasa “marah” dan kecewa pada “takdir” Tuhan.

Lalu kemudian saya merenung. Tuhan, jikalau Engkau, Sang Pemilik Segala, “mengusir”-ku, lalu kepada siapa lagi aku hendak mencari tempat berlindung?

Bumi ini, milik-Mu. Hendak berpijak ke mana diri ini bila Engkau tak merestui aku tinggal di bumi-Mu. Langit ini milik-Mu. Hendak berteduh ke mana bila Engkau tak mengizinkanku tuk bernaung di bawahnya? Semua milik-Mu. Mestinya, kapan pun diambil, suka atau tidak, bukankah kita harus legowo?

Tetiba saya pun seolah ditampar oleh nasihat agung, Syaikhuna, Abdul Qadir Jailani, dalam Kitab Futuh Al-Ghaib bahwa, kewajiban seorang Muslim bukan hanya bisa menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, tapi juga kudu (mesti/harus) ridha dengan takdir Yang Maha Kuasa.

Ini berarti, selain kita harus mampu berdamai dengan sekitar, kita pun harus bisa berdamai dengan diri sendiri. Kita harus sering berbicara, berdialog, dan senantiasa menasihati diri sendiri agar organ-organ tubuh kita mau “nurut” dengan semua ketetapan Dia. Baik lisan, hati, maupun tindakan.

Dan, tulisan ini saya buat untuk menasihati diri saya sendiri–agar terus berusaha “nrimo” dengan segala ketentuan-Nya. Mengingat besok adalah hari di mana tepat 40 hari Abah dipanggil Sang Pemilik.

“Tongkat” penuntun hidup, yang selama ini aku pegang erat, kini harus kembali kepada Sang Empunya, dan ini adalah bukti bahwa sejatinya kita memang “yatim”, dan kelak kembali pada Tuhan dalam kondisi “yatim”, sendiri.

Semoga, semoga, semoga kelak kita dipertemukan kembali ke Surga-Nya. Amiin. Alfaatihah …

Jakarta, 5 Desember 2017

Siapa Bilang Kerja di Luar Negeri itu Enak?

Standar

Ilustrasi-TKIGambar diambil dari Tribunnews.com

Teman saya tiba-tiba telfon dan memberi tahu bahwa ia berniat untuk merantau ke negeri seberang. Saya pun tak langsung meng-iya-kan dan menyetujuinya. Meski, dengan nada berapi-api dan penuh semangat harapan ia menjelaskan bahwa betapa beruntungnya bila diizinkan bekerja di sana. Tentu, gaji besar dan harapan dapat mengubah nasib, itulah yang menjadi alasan utamanya berada jauh dari keluarga, teman, dan kerabat.

Jujur saja, sebetulnya saya tak begitu mendengarkan ucapan berikutnya. Karena entah mengapa, tetiba pikiran saya ikut sibuk mengenang masa lalu. Rasanya, bukan cuma “kapok” berada jauh dari keluarga, orangtua, tapi juga lebih dari itu–saya takut tak bisa dekat dengan Tuhan.

Ketika kita berada di tengah-tengah “keluarga baru” (bos, majikan), mau tidak mau kita pun harus siap melepas segalanya, termasuk keinginan kita untuk bertemu Tuhan (sholat). “Tuhan” kita mendadak berubah. Apa pun yang diperintah “sang majikan”, tentu harus kita laksanakan. Dan parahnya, tak mengenal waktu. Ketika perintah itu didengungkan, jiwa raga kita mesti siap menjadi “mesin”-nya. Siang atau malam. Di pagi buta, atau di malam kelabu. Tak peduli udara begitu menyayat kulit, atau bahkan terpanggang teriknya mentari. Kala perintah itu nyata, kita pun harus siap. Waktu sholat tak masalah terlewat atau bahkan ditinggal. Yang penting perintahnya dapat dilaksanakan tepat waktu. Ini—yang bagi saya—menjadi masalah utama. Dan, masih banyak lagi masalah yang lain, seperti:

Bahasa
Meski saya lulusan pesantren, dan sudah sedikit “paham” bahasa Arab, tapi percayalah bahasa yang kita pelajari saat mondok (bahasa kitab dan teks buku) sangat berbeda dengan bahasa sehari-hari mereka. Bahkan bahasa yang dulu diujikan saat mengikuti tes ujian masuk kerja di LN, dan dinyatakan LULUS, itu sama sekali tak menjamin bahwa kita bisa lancar berbahasa dan langsung “nyerocos” ngomong ini-itu dengan orang-orang sana. Mengapa? Karena orang-orang sana, ngomong dengan bahasa “’amiah”, sementara kita “belajar” bahasa “amiah” juga tapi berbeda secara pelafalan. Misal, mereka menyebut sopir dengan kata “Syawwag”. Sementara yang tertulis dalam bahasa teks dan lisan orang Indonesia, untuk merujuk ke kata sopir, adalah “Saa-iq” atau “Su-waa-iq”. Atau untuk menyebut air, mereka mengatakannya dengan kata “moyah”, padahal aslinya adalah “maa-un”. Jadi, jelas ini bisa menimbulkan banyak kesalahpahaman. Kata “Q” di sana menjadi “g”, dll.

Belum lagi, bahasa kasar yang mereka ucapkan. Jangan dikira orang Arab itu selalu berbahasa lembut dan “santun”. Karena, bahkan untuk menyatakan kedekatan saja, mereka “harus” diungkapkan dengan bahasa kasar. Misal: setan, himar (keledai), hewan (baca: anjing), dan, masih banyak lagi.

Makanan
Bagi yang suka pilih-pilih makanan, ini mungkin bisa menjadi masalah utama. Namun bagi saya, yang “doyan” makanan apa saja, perbedaan makanan ini tak jadi soal. Hanya saja, kita tentu harus menyesuaikan dengan lidah orang sana. Misal, orang Arab suka sekali makanan yang berlemak. Seperti daging-dagingan, nasi, atau bahkan untuk sekadar makan roti saja—mereka menambahkan minyak sebagai tambahannya. Rasanya, bagi mereka, tak lengkap bila memakan sesuatu tanpa ditambahkan minyak. Sementara bagi saya, yang sedari kecil tak dijejali makanan berminyak, makanan berjenis ini menjadi sedikit mengganggu. Alhasil, saya pun berusaha membuat makanan yang lebih “aman” di lidah, seperti nasi putih—tanpa minyak.

Cuaca Ekstrim
Bila di Indonesia secara umum hanya memiliki dua musim: Musim hujan dan musim panas—yang tergolong sedang, maka di Arab Saudi meski secara umum memiliki beberapa musim, tapi yang mencolok ada dua musim, dan ini sangat super duper ekstrim. Artinya, bila tiba musim dingin maka dinginnya ini super duper dingin. Pun bila datang musim panas.

Berdasarkan pengalaman saya selama tiga tahun di sana, bila tiba musim dingin, saya bahkan sampai memakai baju tebal empat sampai lima lapis, dan ditambah jaket super tebal. Itu pun masih terasa dingin, meski sudah menggunakan “pemanas” ruangan dan selimut. Bibir sampai berdarah-darah. Dan bila tiba musim panas, telor ditaruh di halaman rumah pun bisa matang.

Pakaian
Karena di Arab menggunakan aturan, bagi perempuan untuk memakai “abaya” baju panjang serba hitam, maka bagi pekerja perempuan pun aturan itu berlaku. Bagi saya—yang pernah mondok—aturan ini sebenarnya tak jadi masalah. Karena selain melindungi diri dari “pandangan” laki-laki asing, juga terasa nyaman dan aman ketika keluar dari rumah, karena tak dianggap sebagai “perempuan asing”—yang bisa mudah dilihat laki-laki. Namun bagi yang kurang suka menggunakan pakaian panjang, aturan ini justru mengekang gerak-geriknya—terutama saat bekerja—loncat sana, loncat sini.

Budaya
Ini juga bisa menjadi masalah bila kita tak paham betul budaya sana. Misal, di Indo kita bisa bicara “bebas” dengan lawan jenis, namun di sana ini menjadi masalah besar, bahkan bisa dipenjarakan hanya karena kita mau meminjam ponsel ke sopir guna menghubungi keluarga di rumah. Perempuan dianggap “ganjen—centil”, dengan perilaku seperti ini, meski dengan tujuan yang baik—yakni, melepas rindu pada keluarga. Dan, bukankah menanggung rindu merupakan hal terberat bagi manusia?

Belum lagi dengan saling pukul yang menjadi budaya khas untuk menandakan kedekatan seseorang—sebagai sahabat. Dulu saya sangat marah saat majikan perempuan saya memukul tangan dengan begitu keras saat kami tengah asyik bercanda. Sontak saya marah, dan menegurnya. Dengan pelan, dia pun menjelaskan bahwa itulah budaya negeri para nabi itu. Meski sempat marah, pada akhirnya saya pun harus menerima bahwa itulah budaya yang mesti kita terima.

Pun saat saya sholat subuh. Mereka dengan “keras” melarang saya membaca qunut. Dan, bagi saya yang dari kecil diajarkan memakai qunut, ini sontak membuat saya marah. Bahkan, dengan jiwa muda saya saat itu, saya mengatakan dengan keras, bahwa “Ini agamaku. Ini mazhabku.” Dan, mereka pun pada akhirnya memahami perbedaan.

Kontrak Kerja
Jika Anda mendapatkan “Kontrak Kerja” yang super ideal saat di PT (penampungan), misal akan diberangkatkan haji setelah satu tahun bekerja, waktu kerja hanya Senin-Jumat, mendapat jatah libur Sabtu-Minggu, maka percayalah bahwa itu hanya isapan jempol. Karena, kontrak kerja yang kita tanda tangan ternyata hanya ditanda tangan oleh satu pihak, yaitu oleh si pekerja saja (baca: saya). Sementara si kafil (majikan/bos), tidak membubuhkan tanda tangan. Hal ini tentu saja, PHP sepihak. Sehingga, bila tak terjadi sebagaimana mestinya sesuai dengan kontrak kerja, kita sebagai pekerja tak bisa menuntut, untuk alih-alih mendapatkan hak sesuai yang kita harapkan. Pun dengan gaji—yang secara tertulis akan dibayarkan setiap bulan, pada kenyataannya baru dibayarkan di akhir kontrak (baca: saat kita hendak pulang ke negeri asal). Itu pun masih untung. Karena, banyak pula yang mengaku, tak dibayar utuh.

Kerjaan yang Menumpuk
Bila di negeri sendiri kita banyak menghabiskan waktu untuk tidur, leha-leha, maka jangan harap kita bisa tidur dan istirahat “normal”. Waktu kerja yang tertulis dalam selembar kertas perjanjian hanya 8 jam, pada kenyataannya tak terbatas. Saya sering tidur hanya sejam-dua jam. Selebihnya, adalah waktu kerja. Full. Tidur jam 4 subuh dan bangun jam 5 subuh. Sempat saya protes pada majikan, dan dia hanya mengatakan, “Lina, ini Saudi. Bukan Indonesia.” Mendengar itu, saya pun tertawa. Menertawakan diri sendiri tepatnya. Betapa bodohnya aku, “mengabdi” pada makhluk.

Dan masih banyak masalah-masalah yang lain. Semisal kita hidup sendirian, tak ada yang membela, tak ada yang menjadi tempat bersandar saat majikan sedang marah, tak ada teman curhat, senior yang bermasalah, dan lain sebagainya.

Meski saya sudah melewati semua proses “panjang” itu, saya menyarankan teman-teman yang hendak terjun bekerja ke luar negeri untuk berpikir ulang, saat hendak menghabiskan waktu jauh dari keluarga. Karena, yang terberat bagi saya saat bekerja di sana, adalah—selain tak bisa “dekat” dengan Tuhan, juga sulit, sakit, menanggung beban rindu. Terlebih, bila kita pulang, kembali ke rumah—kita hanya mendapati kabar, bahwa orangtua—orang yang terkasih—sudah dipanggil Yang Kuasa.

Wallahu a’lam.

Jakarta, 18 Desember 2017

Pesan Nabi terhadap Takfirin

Standar

Beberapa hari ini, saya (kok) merasa prihatin dan juga (sedih) dengan maraknya golongan, atau juga per orangan yang begitu mudah menyebut saudara sesama Muslim dengan panggilan kafir (takfirin). Padahal, jauh … jauh sekali sebelum kita lahir, Rasul Saw. sudah mewanti-wanti pada umatnya untuk tidak mudah memberi cap “KAFIR”. Sebab, tampaknya Rasul tahu betul bahwa kita sama sekali tidak berhak memberikan cap itu.

Hal ini bisa dilihat dari salah satu ayat, yang dengan jelas menyebutkan bahwa hanya Allahlah yang tahu siapa orang-orang yang layak masuk dalam golongan “lurus”.

Katakanlah (hai Muhammad), “Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus jalan yang ditempuhnya.” (QS Al-Isra’ : 84)

Itu baru satu ayat, dan masih banyak lagi ayat yang–baik implisit maupun eksplisit–membahas tentang hal serupa.

Pun begitu dengan sederet hadis yang memerintahkan agar kita berhati-hati dalam memberi cap itu. Misalnya:

“Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya di dua tempat; kitab Al Manaqib, Bab Nisbatul Yaman Ila Isma’il, hadits no. 3317 dan kitab Al Adab, Bab Ma Yanha Minas Sibab Wal La’ni, hadits no. 5698 dan Imam Muslim dalam shahihnya, kitab Al Iman, Bab Bayan Hali Iman Man Raghiba An Abihi Wahua Ya’lam, hadis no. 214.)

“Tiga hal yang menjadi dasar Iman, (pertama) adalah mencegah diri untuk tidak menyakiti orang yang mengucapkan tiada Tuhan selain Allah. Kita tidak mengkafirkannya karena sebuah dosa dan tidak mengeluarkannya karena sebuah dosa dan tidak mengeluarkanya karena sebuah amqal (amal). (Kedua), jihad telah berlaku sejak Allah mengutusku hingga nanti umatku yang paling akhir memerangi dajjal. Kedzaliman orang yang dzalim maupun keadilan orang yang adil tidak akan dapat menghalanginya. (ketiga), iman kepada berbagai takdir.” (HR. Abu Dawud)

“Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya (sesama Muslim) “hai kafir” maka salah satu di antara keduanya akan kufur.” (HR.Bukhari)

“Barangsiapa yang melaknat seorang Mukmin, maka dia seperti membunuhnya dan barangsiapa yang menyatakan seorang Mukmin dengan kekafiran, maka dia seperti membunuhnya.” (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin Dhihah).

Bahkan, dalam suatu riwayat yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Al-Din, dijelaskan bahwa Rasul Saw. sangat marah ketika seorang sahabat beliau membunuh seorang non-Muslim yang, ketika dihunuskan pedang, sang kafir tersebut mengucap syahadat.

Sahabat berdalih, sengaja membunuhnya karena beranggapan bahwa orang tersebut terlambat mengucap syahadat.

Mendengar itu, Rasul Saw. membalikkan badan seraya mengucap, “Mengapa tidak kau belah saja dada orang ini agar kamu tahu, apa yang ada di dalam dadanya.”

Lalu, jika Rasul (saja) begitu hati-hati dalam memberi cap kepada saudara sesama Muslim–bahkan orang yang baru bersyahadat ketika “ditawarkan” pedang, masih beranikah kita bersikap angkuh melebihi Baginda Rasul?
Bukankah dalam Al-Quran, jelas adanya larangan melebihi suara Rasul?
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Hujurat: 2)

Wallahu a’lam bishshowab.

Indonesia: Negara yang Memanusiakan Manusia

Standar

“Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Peribahasa ini menurut saya sangat mewakili kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo, atau dalam bahasa agama disebut negara yang “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”, oleh sebagian penghuninya dilihat sebelah mata. Bahkan, dalam salah satu diskusi kami tentang pentingnya memandang “Indonesia”, para “aktivis” itu begitu berapi-api meng”idola”kan negeri seberang, lalu menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak atau kurang “maju”. Bagi mereka, Indonesia tak ubahnya seperti pasar tumpah—yang penuh lumpur dan debu—dan karenanya sudah seharusnya berbenah memperbaiki diri dalam segala hal. Bersolek dari mulai transportasi hingga “model” kehidupannya.

Tak hanya itu, sistem negara pun ikut dikritisinya. Katanya, kalau mau maju dan menyejahterakan rakyatnya, Indonesia harus meniru sistem pemerintahan di luar nun jauh di sana. Dan, karena Islam sebagai agama terbesar di negeri ini maka Islam pulalah yang seharusnya memimpin—seperti halnya di Saudi sana. Untuk cita-cita ini, sistem kekhalifahan pun pada akhirnya—menurut mereka—menjadi solusi.

Ah, Teman … percayalah bahwa negara yang kalian idam-idamkan sistemnya untuk diadopsi oleh bangsa kita ini sejatinya tidak lebih baik dari sistem negara kita. Kalian memandang bahwa Indonesia terlihat jauuuh tertinggal dari negara-negara lain, bahkan yang ada di sebelahnya. Namun, Teman … jangan hanya melihat Indonesia dari tampilan fisik semata. Jangan melihat Indonesia dari sederet keruwetan fasilitas negaranya saja. Jangan memandang Indonesia hanya dari dalam negeri saja. Lihatlah Indonesia secara keseluruhan!

Sesekali pergilah ke luar zona kita. Lihatlah dunia dan coba bandingkan dengan segala pernik kehidupan negeri kita yang unik dan mengagumkan ini. Sekali lagi, jangan bandingkan Indonesia hanya dari fisiknya saja. Lihatlah Indonesia secara keseluruhan. Sebagaimana kau melihat “gajah” secara sempurna. Bukan hanya belalainya saja. Bukan hanya kakinya saja, bukan hanya punggungnya saja. Lihat keseluruhannya, dan pasti kan kau temukan kesempurnaan ciptaan-Nya.

Pun begitu dengan caramu seharusnya dalam melihat Indonesia. Keluarlah ke negeri di luar sana. Bila perlu, menetaplah barang setahun dua tahun untuk melihat kehidupan sejati di negara yang kau puja itu. Lalu bandingkan bagaimana “kehidupan” di antara keduanya. Mengapa?

Karena, puji Tuhan, saya pernah menetap di Saudi selama beberapa tahun. Dan, dari sanalah perasaan cinta terhadap negeri sendiri muncul. Dari sanalah saya menyadari bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang banyak diidolakan oleh negeri luar sana. Lantas, mengapa kita justru mengidolakan negeri lain?

Teman … Indonesia yang kutinggalkan adalah Indonesia yang kurindu—sepenuh jiwa. Bukan hanya rindu pada keluarga karena jauh dari mereka, tapi juga pernik kehidupan Indonesia—yang dulu sempat kupandang sebelah mata.

Makanan kami saat di Saudi begitu terjamin, semua ada! Bahkan dari makanan khas Saudi sampai makanan dari berbagai negara lain tersedia! Begitu pun kehangatan keluarga. Meski jauh dari negeri sendiri, di sana saya mendapatkan keluarga baru yang tak kalah membahagiakan. Bahkan, saking dekatnya, pasca saya kembali ke Indonesia, mereka masih saja berharap saya bisa kembali. Dan, tawaran yang selalu menggiurkan adalah—selain kehidupan ekonomi (dari tempat tinggal hingga makanan) saya dijamin, fasilitas kesehatan gratis, mereka pun membebaskan saya untuk menempuh studi, dan itu free.

Ah, Indonesia tetap menjadi pilihan hidup saya! Meski makan seadanya, meski tinggal di gubuk reyot, meski hampir dikatakan serba susah dalam hal pemenuhan fasilitas hidup, Indonesia tetap aku puja.

Selain Saudi, saya juga pernah menginjakkan kaki ke negara lain seperti Yordania, Oman, Syiria, Lebanon, Qatar, Palestina, Singapura, dan Amerika. Dan, itu free dari kafil/kafilah saya waktu di Saudi! (Ah, betapa beruntungnya saya bermukim di kediaman mereka. Status Pembantu Rumah Tangga mengajarkan saya betapa luasnya karunia Tuhan pada makhluk-Nya.). Dan, Indonesia tetap istimewa di mata saya. Bukan Yordania, Oman, Syiria, Lebanon, Qatar, Palestina, Singapura, atau Amerika! Indonesia! Indonesia! Dan, Indonesia!

Teman … ingatkah (tahukah) kalian bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang “mengizinkan” adanya tradisi diskusi bahkan “pengajian” hingga larut malam—tanpa “pengawalan ketat” para aparat?

Ingatkah (tahukah) kalian bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang disebut “jannin”, indah surgawi, oleh sebagian besar masyarakat Arab Saudi? Karena alasan ini pula, banyak masyarakat sana yang selalu menyempatkan waktu liburan untuk berkunjung ke Indonesia! Bukan Eropa atau Amerika!

Ingatkah (tahukah) kalian bahwa meski Indonesia mendapat peringkat tanah tersubur ke-11 di dunia, tapi Indonesia lah yang memiliki pulau tersubur di dunia, yakni Pulau Jawa. Hal ini wajar, karena Jawa memiliki banyak gunung berapi aktif. Dan, gunung berapi aktif inilah yang konon memiliki kandungan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Sehingga, –masih secara logika awam saya—masyarakat Indonesia tak perlu khawatir masalah kekurangan pangan. Toh, Indonesia memiliki “lumbung” yang tidak dipunyai negara lain!

Itulah sederet alasan singkat saya mengapa TETAP MEMILIH INDONESIA. Sebuah kenyamanan yang tidak bisa didapatkan dari negara mana pun. Sebuah kenyamanan yang didapat dari hasil menempatkan manusia pada posisinya sebagai manusia! Inilah poin yang sangat penting dalam kehidupan manusia—bahkan dalam berbangsa dan bernegara! Memanusiakan manusia! Wallahu a’lam bissho-wab. []

 

 

BAHAN DASAR ASI

Standar

13-manfaat-memberikan-asi-eksklusif-alodokter

Gambar diambil dari Alodokter

Menjadi seorang ibu baru itu amat sangat dilema. Betapa tidak, di sisi lain, ia ingin memberikan yang terbaik bagi si buah hati melalui pemberian asi eksklusif. Tapi di sisi lain, untuk mendapatkan asi eksklusif sungguh tidaklah mudah. Penuh perjuangan dan godaan.

Pemicunya banyak! Dari mulai rasa sakit pasca melahirkan, capek begadang terus karena menyesuaikan dengan pola tidur bayi, sampai lelah pikiran karena dengerin omongan sana-sini yang nanya, “Kok ASI-mu gak keluar banyak? Kamu salah makan kali, kamu kurang jamu kali, dan bla bla bla”.

Padahaaal, percaya atau tidak, sakit seberat apa pun akan dilakukan sang Ibunda demi agar bisa memenuhi kebutuhan Asi sang buah hati. Puting lecet dan bengkak pun seolah jadi teman sehari-hari bagi para Busui pasca melahirkan.

Alhasil, emosi tingkat dewa lah bagi para Busui. Rasanya pengen marrraah semarah-marahnya kalau ada yang membahas tentang Asi. Kadang, suka ngiri juga kalau “tetangga” sono bisa menghasilkan Asi melimpah. Hiks, sakitnya tuh di sini 😀. Sehingga, sadar atau tidak, hal inilah yang justru menjadikan Asi malah seret bin mampet. Kenapa?

Karena, Tuhan sepertinya sudah mafhum dengan kebutuhan makhluk-Nya, termasuk bagi sang jabang bayi–bahkan sudah sejak masih berada dalam kandungan Ibundanya. Dia, Tuhan Sang Maha Cinta, sudah jauh-jauh hari menyiapkan salah satu hormon, yang dengannya kita bisa menghasilkan Asi melimpah. Sehingga, tugas kita—sebetulnya “hanya” berusaha memancing agar apa yang sudah disediakan Tuhan itu dapat keluar dari “sarangnya”.

Apa yang sudah disediakan Tuhan dan bagaimana cara memancingnya?

Apalagi kalau bukan hormon oksitosin? Hormon cinta. Hormon kasih. Hormon bahagia. Dan, hormon ini sebetulnya mudah didapat dan tidak membutuhkan biaya yang melimpah, karena sudah disediakan Tuhan toooh. Kita tinggal menggalinya “saja”. Namuuun, yah namanya juga manusia. Kadang lupa dan memang karena sibuk ngurus yang di luar, jadi lupa sama apa yang tersedia di dekat kita. Bahagia.

Ya, bahagia—sebagaimana banyak peneliti telah membuktikannya—nyatanya merupakan bahan dasar “pembuatan” Asi. Sehingga, makin bahagia Busui, makin melimpah pula Asi yang diperoleh. Itu sebabnya, semahal dan sebagus apa pun kandungan dalam sufor, ia tidak bisa menggantikan kandungan asi—yang sudah dirancang sedemikian hebat oleh Tuhan yang Maha Kasih.

Oleh karena itu, untuk bisa menghasilkan Asi melimpah, kita tidak perlu kaya! Tidak juga perlu mengonsumsi makanan beraneka ragam yang mahal harganya. Atau, tidak juga harus minum booster Asi ini-itu–yang bahkan nama dan istilah-istilahnya belum kita kenal sebelumnya.

Bagi para Busui, yang rentan sekali dalam kondisi lelah pasca melahirkan, Tuhan hanya mensyaratkan satu hal. Yakni, bahagia. Makanan yang enak mungkin saja bisa bikin Busui bahagia. Belanja barang-barang kesukaan kita juga sangat mungkin bisa menjadi booster bagi para Busui. Atau, konsumsi obat-obatan tertentu juga bisa sangat mungkin menyebabkan Asi kita melimpah.

Namun, hal yang perlu diingat bahwa tidak semua orang yang melakukan hal di atas bisa serta merta mendapatkan “hormon” bahagia, bahkan malah makin frustasi karena Asi yang diidam-idamkan tak kunjung melimpah. Dan, betapa banyak orang yang hidup di emper jembatan, jauh dari kata layak tetapi justru malah bisa tertawa puas, bahagia, dan karenanya dapat merangsang agar Asi keluar dari sarangnya.

Lalu, apa itu bahagia? Bahagia–seperti apa yang diungkapkan dr. Haidar Bagir dalam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, kadang diartikan salah kaprah. Apa yang menjadi “perantara” bahagia diartikan sama dengan kebagaiaan itu sendiri. Bila untuk bahagia, kita tidak membutuhkan apa pun, kecuali kesiapan hati untuk mengatakan “Selamat Datang, Duhai Kebahagiaan” pada diri sendiri. Sementara “perantara” bahagia itu banyak, seperti, makan makanan enak bin mahal, rumah luas nan megah, belanja barang-barang branded, dan berbagai unsur materi lainnya. Sehingga, kebahagiaan, yang seringkali diidam-idamkan banyak orang–termasuk para Busui–sejatinya begitu mudah diraih, dan semua orang bisa meraihnya!

Sayangnya, kita kadang lupa menilai makna bahagia, sehingga terus saja berfokus pada apa yang ada di luar diri kita, dan luput menilai apa-apa yang ada di dalam diri kita.

So, bagi para Busui, yuk jangan sampai lupa untuk mengucapkan “selamat datang, Duhai Kebahagiaan” pada diri sendiri .

 

#WorldBreastfeedingWeek
#MenyusuiDenganCinta
#DukungBusui

@tipsmenyusui