JATAH OKSIGEN

Standar

Andai aku tercipta bukan sebagai manusia …

Sumber gambar: bumiberpelangi.blogspot.com

Sumber gambar: bumiberpelangi.blogspot.com

Setiap manusia diberi jatah oksigen yang pas kala ia mulai diturunkan ke bumi. Pas segitu. Tidak kurang, tidak juga lebih. Pas sesuai kadarnya sebagai makhluk hidup. Sekitar 60-75 tahun ukuran standar umur manusia. Sebuah rentang waktu yang cukup singkat bila disandingkan dengan kehidupan Alam Akhirat. Karena itu, konon, selama waktu itu, ia diberi tugas hanya satu. Ya, hanya satu. Mencari “Mutiara”.

Namun, saking asyiknya ia bermain ke sana kemari, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, sibuk mengejar indahnya taman fatamorgana dunia, ia pun menjadi lupa bahwa tujuan utamanya turun ke bumi sejatinya hanya satu, guna menemukan Mutiara. Ia terlena bersama angannya yang dikira bakal selamanya menetap di bumi.

Hingga pada akhirnya, tibalah saat di mana jatah oksigen itu habis. Lalu kita berusaha merayu, menawar, memohon, agar diberi kesempatan untuk bisa kembali ke bumi dan berjanji (akan) fokus mencari apa yang diperintah Sang Pemberi oksigen. Mencari Mutiara.

Ia merintih pada Tuhannya, “Ya laytani kuntu turoba” (QS An-Naba: 40). Andai dulu aku menjadi debu. Menjadi tanah. Menjadi makhluk-Mu yang tidak diberi tanggung jawab berupa “imbalan” pahala dan dosa. Andai aku tercipta bukan sebagai manusia. Andai aku tidak sombong menerima tawaran menjadi khalifah di bumi-Mu. Andai dulu kala dalam rahim ibu, aku tidak berjanji …

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS Al-A’raf: 172)

Namun sayang, janji-Nya adalah pasti.

Sesungguhnya janji Allah itu benar. (Al-Kahf: 98, Al-Mu’min: 55, Fathir: 5, Luqman: 33, Ar-Rum: 60, Ibrahim: 22)

Fa idza ja a ajaluhum la yasta’khiruna saatan wala yastaqdimun. Apabila batas waktunya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (QS Al-A’raf [7]: 34)

Dan karenanya, sungguhlah sia-sia kata-kata “andai” itu terlontar. Sungguhlah tak berguna kata bujuk rayu kala mulut terkunci dan kaki tangan siap mengambil alih menjadi saksi. Sungguhlah, sia-sia. Tak berguna.

Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Ya Sin: 65)

Lantas, bila kita tidak “tahu” kapan jatah umur kita jatuh tempo, mengapakah kita masih menyia-nyiakan sesuatu yang bila telah hilang tak akan dapat kembali? Umur. Jatah umur. Waktu. Jatah waktu “ngontrak” di bumi-Nya. Bukankah detik hari ini, tidak akan sama dengan dengan detik esok hari. Bukankah Selasa hari ini, tidak akan sama dengan Selasa esok hari?

*Allah … tuntun kami, tuntun kami, tuntun kami … dan izinkanlah kami menjadi hamba-Mu. Hanya menjadi budak-Mu. Allahumma shalli ala sayyidina muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.

Jakarta, 17 November 2015

Silakan mengcopy, asal sertakan sumber link tulisan ini.