KALA MAUT MEMANGGIL

Standar

Dunia-Yang-Membuat-Lupa-Mati-715x400Gambar ini diambil dari Khotbah Jumat

 

“Siapa saja yang tidak rela menerima ketetapan-Ku (takdir-Ku) dan tidak sabar menghadapi ujian-ujian-Ku kepada dirinya, silakan cari saja Tuhan selain Aku.” 

[HR Ath-Thabrani dan Ibnu ‘Asakir]

Hadis ini pertama kali saya dengar sesaat sebelum ibu saya dimakamkan, dan saya pingsan berkali-kali karena merasa “marah” dan kecewa pada “takdir” Tuhan.

Lalu kemudian saya merenung. Tuhan, jikalau Engkau, Sang Pemilik Segala, “mengusir”-ku, lalu kepada siapa lagi aku hendak mencari tempat berlindung?

Bumi ini, milik-Mu. Hendak berpijak ke mana diri ini bila Engkau tak merestui aku tinggal di bumi-Mu. Langit ini milik-Mu. Hendak berteduh ke mana bila Engkau tak mengizinkanku tuk bernaung di bawahnya? Semua milik-Mu. Mestinya, kapan pun diambil, suka atau tidak, bukankah kita harus legowo?

Tetiba saya pun seolah ditampar oleh nasihat agung, Syaikhuna, Abdul Qadir Jailani, dalam Kitab Futuh Al-Ghaib bahwa, kewajiban seorang Muslim bukan hanya bisa menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, tapi juga kudu (mesti/harus) ridha dengan takdir Yang Maha Kuasa.

Ini berarti, selain kita harus mampu berdamai dengan sekitar, kita pun harus bisa berdamai dengan diri sendiri. Kita harus sering berbicara, berdialog, dan senantiasa menasihati diri sendiri agar organ-organ tubuh kita mau “nurut” dengan semua ketetapan Dia. Baik lisan, hati, maupun tindakan.

Dan, tulisan ini saya buat untuk menasihati diri saya sendiri–agar terus berusaha “nrimo” dengan segala ketentuan-Nya. Mengingat besok adalah hari di mana tepat 40 hari Abah dipanggil Sang Pemilik.

“Tongkat” penuntun hidup, yang selama ini aku pegang erat, kini harus kembali kepada Sang Empunya, dan ini adalah bukti bahwa sejatinya kita memang “yatim”, dan kelak kembali pada Tuhan dalam kondisi “yatim”, sendiri.

Semoga, semoga, semoga kelak kita dipertemukan kembali ke Surga-Nya. Amiin. Alfaatihah …

Jakarta, 5 Desember 2017

Siapa Bilang Kerja di Luar Negeri itu Enak?

Standar

Ilustrasi-TKIGambar diambil dari Tribunnews.com

Teman saya tiba-tiba telfon dan memberi tahu bahwa ia berniat untuk merantau ke negeri seberang. Saya pun tak langsung meng-iya-kan dan menyetujuinya. Meski, dengan nada berapi-api dan penuh semangat harapan ia menjelaskan bahwa betapa beruntungnya bila diizinkan bekerja di sana. Tentu, gaji besar dan harapan dapat mengubah nasib, itulah yang menjadi alasan utamanya berada jauh dari keluarga, teman, dan kerabat.

Jujur saja, sebetulnya saya tak begitu mendengarkan ucapan berikutnya. Karena entah mengapa, tetiba pikiran saya ikut sibuk mengenang masa lalu. Rasanya, bukan cuma “kapok” berada jauh dari keluarga, orangtua, tapi juga lebih dari itu–saya takut tak bisa dekat dengan Tuhan.

Ketika kita berada di tengah-tengah “keluarga baru” (bos, majikan), mau tidak mau kita pun harus siap melepas segalanya, termasuk keinginan kita untuk bertemu Tuhan (sholat). “Tuhan” kita mendadak berubah. Apa pun yang diperintah “sang majikan”, tentu harus kita laksanakan. Dan parahnya, tak mengenal waktu. Ketika perintah itu didengungkan, jiwa raga kita mesti siap menjadi “mesin”-nya. Siang atau malam. Di pagi buta, atau di malam kelabu. Tak peduli udara begitu menyayat kulit, atau bahkan terpanggang teriknya mentari. Kala perintah itu nyata, kita pun harus siap. Waktu sholat tak masalah terlewat atau bahkan ditinggal. Yang penting perintahnya dapat dilaksanakan tepat waktu. Ini—yang bagi saya—menjadi masalah utama. Dan, masih banyak lagi masalah yang lain, seperti:

Bahasa
Meski saya lulusan pesantren, dan sudah sedikit “paham” bahasa Arab, tapi percayalah bahasa yang kita pelajari saat mondok (bahasa kitab dan teks buku) sangat berbeda dengan bahasa sehari-hari mereka. Bahkan bahasa yang dulu diujikan saat mengikuti tes ujian masuk kerja di LN, dan dinyatakan LULUS, itu sama sekali tak menjamin bahwa kita bisa lancar berbahasa dan langsung “nyerocos” ngomong ini-itu dengan orang-orang sana. Mengapa? Karena orang-orang sana, ngomong dengan bahasa “’amiah”, sementara kita “belajar” bahasa “amiah” juga tapi berbeda secara pelafalan. Misal, mereka menyebut sopir dengan kata “Syawwag”. Sementara yang tertulis dalam bahasa teks dan lisan orang Indonesia, untuk merujuk ke kata sopir, adalah “Saa-iq” atau “Su-waa-iq”. Atau untuk menyebut air, mereka mengatakannya dengan kata “moyah”, padahal aslinya adalah “maa-un”. Jadi, jelas ini bisa menimbulkan banyak kesalahpahaman. Kata “Q” di sana menjadi “g”, dll.

Belum lagi, bahasa kasar yang mereka ucapkan. Jangan dikira orang Arab itu selalu berbahasa lembut dan “santun”. Karena, bahkan untuk menyatakan kedekatan saja, mereka “harus” diungkapkan dengan bahasa kasar. Misal: setan, himar (keledai), hewan (baca: anjing), dan, masih banyak lagi.

Makanan
Bagi yang suka pilih-pilih makanan, ini mungkin bisa menjadi masalah utama. Namun bagi saya, yang “doyan” makanan apa saja, perbedaan makanan ini tak jadi soal. Hanya saja, kita tentu harus menyesuaikan dengan lidah orang sana. Misal, orang Arab suka sekali makanan yang berlemak. Seperti daging-dagingan, nasi, atau bahkan untuk sekadar makan roti saja—mereka menambahkan minyak sebagai tambahannya. Rasanya, bagi mereka, tak lengkap bila memakan sesuatu tanpa ditambahkan minyak. Sementara bagi saya, yang sedari kecil tak dijejali makanan berminyak, makanan berjenis ini menjadi sedikit mengganggu. Alhasil, saya pun berusaha membuat makanan yang lebih “aman” di lidah, seperti nasi putih—tanpa minyak.

Cuaca Ekstrim
Bila di Indonesia secara umum hanya memiliki dua musim: Musim hujan dan musim panas—yang tergolong sedang, maka di Arab Saudi meski secara umum memiliki beberapa musim, tapi yang mencolok ada dua musim, dan ini sangat super duper ekstrim. Artinya, bila tiba musim dingin maka dinginnya ini super duper dingin. Pun bila datang musim panas.

Berdasarkan pengalaman saya selama tiga tahun di sana, bila tiba musim dingin, saya bahkan sampai memakai baju tebal empat sampai lima lapis, dan ditambah jaket super tebal. Itu pun masih terasa dingin, meski sudah menggunakan “pemanas” ruangan dan selimut. Bibir sampai berdarah-darah. Dan bila tiba musim panas, telor ditaruh di halaman rumah pun bisa matang.

Pakaian
Karena di Arab menggunakan aturan, bagi perempuan untuk memakai “abaya” baju panjang serba hitam, maka bagi pekerja perempuan pun aturan itu berlaku. Bagi saya—yang pernah mondok—aturan ini sebenarnya tak jadi masalah. Karena selain melindungi diri dari “pandangan” laki-laki asing, juga terasa nyaman dan aman ketika keluar dari rumah, karena tak dianggap sebagai “perempuan asing”—yang bisa mudah dilihat laki-laki. Namun bagi yang kurang suka menggunakan pakaian panjang, aturan ini justru mengekang gerak-geriknya—terutama saat bekerja—loncat sana, loncat sini.

Budaya
Ini juga bisa menjadi masalah bila kita tak paham betul budaya sana. Misal, di Indo kita bisa bicara “bebas” dengan lawan jenis, namun di sana ini menjadi masalah besar, bahkan bisa dipenjarakan hanya karena kita mau meminjam ponsel ke sopir guna menghubungi keluarga di rumah. Perempuan dianggap “ganjen—centil”, dengan perilaku seperti ini, meski dengan tujuan yang baik—yakni, melepas rindu pada keluarga. Dan, bukankah menanggung rindu merupakan hal terberat bagi manusia?

Belum lagi dengan saling pukul yang menjadi budaya khas untuk menandakan kedekatan seseorang—sebagai sahabat. Dulu saya sangat marah saat majikan perempuan saya memukul tangan dengan begitu keras saat kami tengah asyik bercanda. Sontak saya marah, dan menegurnya. Dengan pelan, dia pun menjelaskan bahwa itulah budaya negeri para nabi itu. Meski sempat marah, pada akhirnya saya pun harus menerima bahwa itulah budaya yang mesti kita terima.

Pun saat saya sholat subuh. Mereka dengan “keras” melarang saya membaca qunut. Dan, bagi saya yang dari kecil diajarkan memakai qunut, ini sontak membuat saya marah. Bahkan, dengan jiwa muda saya saat itu, saya mengatakan dengan keras, bahwa “Ini agamaku. Ini mazhabku.” Dan, mereka pun pada akhirnya memahami perbedaan.

Kontrak Kerja
Jika Anda mendapatkan “Kontrak Kerja” yang super ideal saat di PT (penampungan), misal akan diberangkatkan haji setelah satu tahun bekerja, waktu kerja hanya Senin-Jumat, mendapat jatah libur Sabtu-Minggu, maka percayalah bahwa itu hanya isapan jempol. Karena, kontrak kerja yang kita tanda tangan ternyata hanya ditanda tangan oleh satu pihak, yaitu oleh si pekerja saja (baca: saya). Sementara si kafil (majikan/bos), tidak membubuhkan tanda tangan. Hal ini tentu saja, PHP sepihak. Sehingga, bila tak terjadi sebagaimana mestinya sesuai dengan kontrak kerja, kita sebagai pekerja tak bisa menuntut, untuk alih-alih mendapatkan hak sesuai yang kita harapkan. Pun dengan gaji—yang secara tertulis akan dibayarkan setiap bulan, pada kenyataannya baru dibayarkan di akhir kontrak (baca: saat kita hendak pulang ke negeri asal). Itu pun masih untung. Karena, banyak pula yang mengaku, tak dibayar utuh.

Kerjaan yang Menumpuk
Bila di negeri sendiri kita banyak menghabiskan waktu untuk tidur, leha-leha, maka jangan harap kita bisa tidur dan istirahat “normal”. Waktu kerja yang tertulis dalam selembar kertas perjanjian hanya 8 jam, pada kenyataannya tak terbatas. Saya sering tidur hanya sejam-dua jam. Selebihnya, adalah waktu kerja. Full. Tidur jam 4 subuh dan bangun jam 5 subuh. Sempat saya protes pada majikan, dan dia hanya mengatakan, “Lina, ini Saudi. Bukan Indonesia.” Mendengar itu, saya pun tertawa. Menertawakan diri sendiri tepatnya. Betapa bodohnya aku, “mengabdi” pada makhluk.

Dan masih banyak masalah-masalah yang lain. Semisal kita hidup sendirian, tak ada yang membela, tak ada yang menjadi tempat bersandar saat majikan sedang marah, tak ada teman curhat, senior yang bermasalah, dan lain sebagainya.

Meski saya sudah melewati semua proses “panjang” itu, saya menyarankan teman-teman yang hendak terjun bekerja ke luar negeri untuk berpikir ulang, saat hendak menghabiskan waktu jauh dari keluarga. Karena, yang terberat bagi saya saat bekerja di sana, adalah—selain tak bisa “dekat” dengan Tuhan, juga sulit, sakit, menanggung beban rindu. Terlebih, bila kita pulang, kembali ke rumah—kita hanya mendapati kabar, bahwa orangtua—orang yang terkasih—sudah dipanggil Yang Kuasa.

Wallahu a’lam.

Jakarta, 18 Desember 2017