Zuhud: Tidak Dikuasai Dunia

Standar

Perlukah seorang zahid meninggalkan segala kenikmatan dan kemewahan dunia?

 traveller

Imam Al-Laits bin Saad adalah salah seorang ahli Fiqh dan sufi  yang hidup pada kurun ke-2 Hijriah. Meski demikian, ia juga memiliki kekayaan yang luar biasa sekaligus rumah besar nan mewah.

Kondisi tersebut, menimbulkan beragam tanya, baik dari kalangan muridnya, maupun orang awam yang berasal dari negeri jauh–yang juga mengenalnya sebagai orang yang alim. Bahkan, dikisahkan bahwa, ada beberapa orang yang sengaja datang padanya dan menanyakan perihal ini, “Wahai imam, mengapa engkau bergelimang harta dan membuat rumah yang begitu besar? Bukankah zuhud lebih baik bagimu?”

Dia pun menjawab, “Adakah engkau hendak mengharamkan apa yang telah Allah Swt. halalkan untukku?”

Lantas, apakah yang sebenarnya disebut zuhud? Benarkah bila seseorang hendak zuhud, berarti mereka harus siap meninggalkan segala kenikmatan dan kemewahan dunia?

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Zuhud bukan berarti kamu tidak boleh memiliki sesuatu, melainkan tidak sesuatu pun boleh memilikimu.”

Sederhananya, Ali menyebutkan bahwa arti zuhud  hakikatnya selaras dengan  surat Al Hadid ayat 23, yang bertujuan agar kamu tidak berduka cita karena apa yang luput darimu, dan tidak terlalu gembira karena apa yang Allah berikan kepadamu. 

Artinya, orang yang zuhud adalah mereka yang memilih hidup sederhana ketika dia mampu hidup kaya, memilih tetap rendah hati ketika ia mampu memiliki hal-hal yang dapat dibanggakan, serta tabah menanggung kebencian dari orang lain, ketika dia sanggup memperoleh popularitas.

Dalam ayat lain juga disebutkan demikian, Al-Baqarah:262, 274, 277; Ali-Imran:170, “mereka tidak takut dan tidak berduka cita.”

Ahmad bin Hanbal, dalam Kitab al-Zuhd menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya zuhud pada dunia menentramkan hati dan badan; sedangkan kecintaan kepada dunia memperpanjang penderitaan dan kesusahan.” Karenanya, ia tidak akan terguncang hatinya, ketika musibah apapun menimpa.

Begitu pun dalam Kanz al-‘Ummal, hadis 60592, disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Bukanlah zahid itu mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan kekayaan. Tetapi zuhud ialah tidak menjadikan apa yang kamu miliki lebih kamu cintai daripada apa yang ada di sisi Allah. Zuhud juga berarti, jika kamu mendapat musibah, kamu sangat mengharapkan pahala musibah hingga seakan-akan kamu ingin dikekalkan dalam musibah itu.”

Ibn al-Jalla berkata, “Zuhud ialah memandang dunia sebagai sesuatu yang akan hilang, sehingga dunia menjadi kecil dalam pandanganmu. Dengan begitu, mudahlah bagimu berpaling darinya.”  

Sofyan al-Tsauri berkata, “Zuhud bukanlah memakan yang kasar dan memakai baju yang compang-camping. Melainkan, zuhud berarti mengurangi keinginan.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.”

Bahkan, ketika Nabi Saw. ditanya oleh sahabatnya, perihal perbuatan apa yang apabila dikerjakan disukai Allah dan sekaligus disukai sesamanya. Rasul bersabda,  “Berzuhudlah di dalam dunia niscaya dikasihi Allah, dan berzuhudlah di antara sesama manusia niscaya engkau dikasihi manusia”. (HR. Ibnu Majah).

Dalam Madarijus Salikin dan Al-Harawi dalam Manazilus Sa’iirin, Ibn Qayyim Al-Jauziyah berkata, bahwa zuhud memiliki tiga tingkatan. Pertama, ia yang menjauhkan segala pekerjaan buruk, memperbanyak perkerjaan baik dan memperdalam keyakinan serta iman.

Tingkatan kedua, bagi mereka yang memelihara takwa, menjaga agar tidak melanggar batas-batas larangan Allah, dan selalu berusaha menyucikan jiwa dari perbuatan yang tidak disukai Allah.

Terakhir, mereka yang berlaku wara’ pada tiap waktu, menghindarkan segala sebab yang dapat menimbulkan syirik dalam ibadah dan meresapkan fana dalam tauhid yang sebulat-bulatnya.

Para ulama yang arif pun sepakat, bahwa zuhud ialah membawa hati berjalan meninggalkan tanah air dunia dan menempatkannya di kampung akhirat.

Sehingga, setiap orang—tanpa terkecuali (baik yang kaya maupun yang miskin)–pada dasarnya mampu untuk berlaku zuhud. Karena, zahid (orang berzuhud) adalah mereka yang bekerja keras untuk mencari dunia, tetapi ia tidak menyimpan dunia di hatinya.

Kebahagiaan hidupnya tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya harta yang ia miliki. Bagi zahid, meletakkan tujuan hidup pada pengumpulan harta, kepopuleran, kedudukan, atau kebanggaan atas apa yang ia miliki di dunia adalah sesuatu hal yang terlalu rendah. Sebab, apa yang zahid inginkan, pada dasarnya seperti yang diungkapkan Imam al-Fudha’il, “Asal dasar zuhud adalah ridha terhadap ketentuan Allah Swt.”

Lebih dari itu, kisah serupa juga datang dari para Nabi, sahabat dan tabiin. Nabi Sulaiman As., Daud As., dan Muhammad Saw., misalnya. Mereka memiliki harta, kekuasaan, kepopuleran, dan juga isteri. Namun, mereka juga tergolong orang-orang yang paling zuhud di zamannya, bahkan nama Muhammad Saw. hingga kini masih dipuja seluruh alam sebagai orang yang memiliki kekuasaan tak tertandingi, namun tetap memiliki sifat dan sikap zuhud.

Demikian juga para sahabat Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair, Utsman, dan lainnya. Mereka adalah orang-orang yang zuhud sekalipun mempunyai harta melimpah dan kedudukan yang tinggi.

 *Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia.

Zuhud dan Lautan Dunia

Standar

Zuhud bukan berarti kamu tidak boleh memiliki sesuatu, melainkan tidak sesuatu pun boleh memilikimu,”–Ali Ra.

 

Ilustrasi (Sumber foto: Muslimvillage.com)

Ilustrasi
(Sumber foto: Muslimvillage.com)

Kehidupan dunia ini tak ubahnya seperti laut. Laut terlihat sangat luar biasa indah. Tapi yang indah, juga bisa mematikan. Gelombang laut yang begitu memukau, juga bisa membunuh. Demikian juga dengan gelombang lika-liku kehidupan. Air, substansi yang sama diperlukan untuk mempertahankan hidup, tapi juga sekaligus dapat mengakhiri hidup—kita bisa tenggelam. Dan laut yang sama—yang mengendalikan kapal—mengapung—dapat menghancurkan kapal-kapal yang tengah berlayar, hingga berkeping-keping.

Ya, kehidupan dunia ini persis seperti laut. Dan hati kita adalah kapalnya. Kita dapat menggunakan laut untuk kebutuhan hidup kita, sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir kita. Tapi laut tidak lain hanyalah sarana. Sarana  bagi kita untuk mencari segala jenis makanan yang ada di laut.

Laut merupakan sarana perjalanan. Ini merupakan cara untuk mencari tujuan yang lebih tinggi. Laut hanya untuk kita lewati, tapi tidak untuk masuk di dalamnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi jika laut menjadi tujuan akhir kita—bukan hanya sarana. Kita pasti tenggelam.

Selama air laut tetap berada di luar kapal, kapal akan terus mengapung dan berada dalam kontrol. Tapi apa yang terjadi setelah air mulai masuk perlahan ke kapal? Apa yang terjadi ketika dunia tidak kita tempatkan di luar hati kita, ketika dunia tidak lagi berarti? Apa yang terjadi ketika dunia memasuki hati kita? Ini adalah pertanda bahwa kapal kehidupan kita tenggelam.

Ketika hati terpenjara dunia, dan kita menjadi budaknya. Ketika dunia—yang  dulunya di bawah kendali kita—perlahan mulai mengendalikan kita. Ketika air laut masuk dan menyusul kapal, bukan lagi kapal yang memegang kendali, tapi air—yang juga akan menenggelamkan.

Untuk tetap bertahan, kita harus melihat dunia ini dengan cara yang persis sama, karena Allah Saw. telah memberitahu kita bahwa, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (Qs. Ali Imron:190)

Kita hidup di dunia, dan dunia ini sebenarnya dibuat untuk kita gunakan. Zuhud bukan berarti kita sama sekali tidak berinteraksi dengan dunia ini. Sebaliknya, Nabi Saw. bersabda,

Anas bin Malik Ra. berkata, “Ada tiga orang sahabat Nabi Saw. datang ke rumah isteri-isteri Nabi seraya bertanya tentang amal ibadah beliau. Ketika mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap ibadah Nabi itu sedikit. Lalu mereka mengatakan, ‘Siapakah kita dibandingkan Rasul! Beliau sudah diampuni segala dosanya, baik sudah lewat maupun dosa yang akan datang. Maka salah seorang dari sahabat tersebut berkata, “Saya akan melaksanakan shalat sepanjang malam’. Yang lain mengatakan, ‘Saya akan berpuasa seumur hidup dan tidak berbuka’. Yang lain berkata, ‘Saya akan menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah’. Maka (ketika) Rasul mendatangi mereka, (beliau) bersabda, “Kaliankah yang mengatakan ini dan itu? Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah, akan tetapi aku (kadang) berpuasa dan berbuka, saya juga shalat dan saya juga menikah dengan wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, berarti ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari)

Nabi Saw. bahkan tidak menarik diri dari dunia. Beliau benar-benar memahami firman-Nya, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, jika mereka mengetahui.” (Qs. Al Ankabut: 64)

Ayat ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat memiliki hal-hal duniawi tersebut. Banyak para sahabat yang kaya. Sebaliknya, ayat ini mendorong kita untuk melihat dan berinteraksi dengan dunia hanya untuk sekadar sarana. Dunia hanya kita letakkan di tangan—tidak dalam hati kita.

Ali menyatakan hal ini dengan indah, “Zuhud bukan berarti kamu tidak boleh memiliki sesuatu, melainkan tidak sesuatu pun boleh memilikimu,”

Seperti air laut memasuki perahu, saat itu berarti kita membiarkan dunia memasuki hati kita, kita akan tenggelam. Samudera tidak pernah dimaksudkan untuk memasuki perahu, tapi dimaksudkan hanya sebagai sarana yang harus tetap di luar. Dunia, juga, tidak pernah dimaksudkan untuk masuk ke dalam hati kita. Dunia hanya sebagai sarana yang tidak boleh masuk ke dalam hati atau mengendalikan kita. Inilah sebabnya mengapa Allah berulang kali menyebut dunia dalam Qur’an sebagai mata’a. Kata mata’a dapat diterjemahkan sebagai “sumber daya untuk kesenangan duniawi sementara.” Ini adalah sumber daya. Ini adalah alat. Ini adalah jalan—bukan tujuan.

Dan ini merupakan konsep Nabi dalam melihat dunia, “Apa hubungan saya dengan dunia ini? Saya di dunia ini seperti seorang musafir yang berhenti dan istirahat di bawah pohon untuk waktu yang singkat. Dan setelah istirahat, saya pun melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan pohon di belakang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi)

Pertimbangkan sejenak metafora seorang musafir. Apa yang terjadi ketika Anda sedang bepergian atau Anda tahu bahwa Anda tinggal hanya bersifat sementara? Ketika Anda melewati kota untuk satu malam, bagaimana Anda akan melewati kota tersebut? Jika Anda tahu itu sementara, Anda akan bersedia tinggal di Hotel. Tapi apakah Anda ingin tinggal selamanya di sana? Mungkin tidak. Misalkan atasan Anda mengirim Anda ke sebuah kota baru untuk bekerja pada sebuah proyek yang terbatas. Misalkan dia tidak mengatakan dengan tepat kapan proyek akan berakhir, tetapi Anda tahu bahwa Anda bisa kembali ke rumah, setiap hari. Bagaimana Anda berada di kota itu? Apakah Anda akan berinvestasi dalam jumlah besar dan menghabiskan semua tabungan Anda untuk membeli berbagai aksesoris dunia yang mahal—rumah dan mobil? Kemungkinan besar tidak. Bahkan saat berbelanja, kemungkinan besar Anda hanya akan membeli sesuatu yang sekiranya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan selama berada dalam tugas sementara itu. Karena bos Anda bisa saja menghubungi Anda kembali, kapan saja.

Ini merupakan pola pikir seorang musafir. Nabi Saw. bersabda, “Demi Allah aku tidak takut dengan kemiskinan, tapi aku takut dunia akan melimpahi hidup kamu seperti orang-orang sebelum kamu, sehingga kamu bersaing untuk itu, karena mereka telah bersaing untuk itu, sehingga menghancurkanmu, karena itu pun yang telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Rasul tahu hakikat kehidupan ini. Dia mengerti apa artinya berada di dunia. Tanpa itu, dia akan tenggelam saat berlayar ke laut yang sama dengan laut kehidupan kita semua. Tapi kapalnya tahu dengan baik dari mana asalnya, dan ke mana ia pergi. Dia mengerti bahwa lautan yang sama berkilau di bawah sinar matahari, akan menjadi kuburan bagi kapal-kapal yang masuk ke kedalaman laut itu. Wallahu A’lam Bishawab.

 *Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia.

Ibadah Anda Tidak Hantarkan ke Surga

Standar

Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?

Ilustrasi (Sumber foto: messanasti.blogspot.com)

Ilustrasi
(Sumber foto: messanasti.blogspot.com)

Hampir sebagian besar kita menduga bahwa, kita dapat memasuki surga-Nya lantaran amal baik yang setumpuk. Dengan meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, mengakui Muhammad utusan-Nya, mendirikan shalat lima waktu sehari, berpuasa Ramadhan sebulan penuh, membayar zakat, dan melakukan ibadah haji ke Makkah jika kita mampu.

Bahkan, ada pula yang menambahkannya dengan berbagai amalan atau ibadah sunnah lainnya, dengan harapan bisa memenuhi target terbesar hidup kita, yakni masuk surga. Kita merasa bahwa sederet amal itu sebanding dengan harga surga. Dan, karenanya pantaslah bila kita kemudian dipersilakan memasukinya.

Namun, Ibn Atoilah, dalam hampir setiap aforismenya, mengatakan, manusia perlu waspada bila sudah mulai memuji dirinya, memuji amalnya, bahkan merasa kebenaran itu milik dirinya. Manusia patut menilik kembali keyakinan dalam hatinya, apakah ia benar-benar mengimani Allah dengan segenap keberserahan dirinya, atau hanya ingin menukar semua yang dilakukan dengan surga.

Jika seseorang percaya bahwa melalui tindakan ini mereka akan mendapatkan kebahagiaan mereka di akhirat, ia patut memberikan penilaian ulang terhadap dirinya.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tidak akan ada di antara kalian yang masuk surga lantaran amal ibadah kalian.”
Para sahabat bertanya, “Tidak ada, bahkan itu berlaku untukmu, Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Bahkan aku pun tidak, kecuali jika Allah meliputiku dengan kasih dan sayang-Nya.”

Cerita dalam hadis di atas bukan berarti kita harus berhenti melakukan kewajiban dan kemudian melakukan tindakan seenaknya tanpa melihat rambu-rambu-Nya. Hadis tersebut menunjukkan apalah artinya kita, yang bahkan sudah melakukan amal sedemikin banyak pun, jika dihitung, tak akan pernah mencukupi segala karunia-Nya.

Betapa sombongnya kita jika berusaha tawar menawar dan menghitung-hitung tiap detail yang kita lakukan guna ditukar dengan surga. Padahal, apa yang dilakukan tidak akan cukup untuk menunjukkan terima kasih kepada Allah atas segala kasih sayang-Nya yang diberikan tanpa henti.

Ada sebuah kisah, yang menceritakan tentang seorang pria petapa memilih hidup di pegunungan untuk menjauhi orang-orang. Hal ini ia lakukan dengan maksud agar tidak melakukan dosa pada makhluk yang lain.

Selama 500 tahun ia menghabiskan waktunya hanya untuk berdoa dan beribadah. Ia hanya makan buah delima yang tumbuh di sekitar tempat petapanya itu. Ia juga hanya meminum mata air di dekatnya, dan tidak melakukan kontak dengan siapa pun. Ia nyaris bebas dari dosa.

Ketika meninggal, Allah berkata kepadanya, “Masukkan ia ke dalam surga karena kasih sayang-Ku”. Pria itu berteriak dan berkata, “Dengan amalku, Tuhan”. Ia mengira bahwa amalnya selama 500 tahun, dengan tanpa melakukan dosa sedikit pun mampu ditukar dengan surga, dan mendapatkan pahala yang paling besar. Allah menjawab dengan mengatakan, “Benarkah kamu ingin diadili?” Kemudian Allah memerintahkan para malaikat, “Perlihatkan buku amalnya, dan hitunglah!”

Para malaikat segera rembukan, membahas setiap detail amal yang pernah dilakukan sang rahib tersebut. Usai menghitung, salah satu malaikat pun melaporkan dan menimbangnya dengan besarnya kasih sayang Allah. “500 tahun ibadah dengan tanpa dosa ditimbang dengan kasih sayang Robbul Izzat.” Ujar sang malaikat.

Pada titik ini, pria itu panik dan menangis seraya berkata, “Ya, Robb. Sungguh karena rahmat-Mu lah aku bisa memasuki surga.”

Ibn Atoilah menjelaskan sederet kisah di atas untuk membimbing kita, agar tidak merasa berhak atas reward sebagai akibat dari amal kita. Bahkan, Allah memberitahu kita dalam Qur’an bahwa semua yang kita lakukan sesungguhnya karena kita dipandu dan diarahkan Dia, sehingga kita mampu melakukan amal-amal yang baik.

Oleh karena itu, Ibn Atoilah menekankan pada kita akan pentingnya sikap keberserahan diri hanya pada-Nya. Harapan kita bisa berjumpa dengan Allah bukan karena kita melakukan amal ibadah. Melainkan, karena kita diperintahkan untuk melakukannya, dan kita akan terus melakukannya bahkan jika tidak ada surga atau neraka.

Jika pun merasa telah melakukan pelanggaran, yang sekiranya membuat Allah murka, maka bukankah Dia, sang maha pengasih (juga) maha pemaaf?

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus-menerus bertobat dan menyucikan diri.” (Qs. Al Baqarah: 222)
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ada tiga tipe alasan mengapa manusia menyembah Allah. Pertama, ketaatan para budak. Mereka beribadah dan menyembah Allah hanya karena takut hukuman-Nya, ia takut masuk neraka akibat perbuatannya.

Kedua, ketaatan para pedagang. Mereka beribadah dan menghitung-hitung setiap detail perbuatannya dan kemudian berusaha menimbang, seberapa banyak reward yang mereka dapatkan untuk setiap perbuatannya.

Kedua jenis tipe ketaatan ini banyak terdapat di tengah-tengah kita. Beberapa orang di antara mereka takut meninggalkan kewajiban hanya karena takut mendapat balasan neraka. Beberapa di antaranya lagi butuh motivasi yang dapat membuatnya semangat beribadah, kaitannya dengan besarnya nilai pahala. Jika pahalanya besar, maka ia akan bergegas segera melakukannya. Sebaliknya, jika pahalanya dinilai kecil, tak sungkan-sungkan ia pun berleha-leha terhadapnya.

Tidak ada yang salah dan buruk dari kedua tipe ketaatan ini. Namun, Rasul Saw. merekomendasikan tipe ibadah bentuk ketiga, dan ini merupakan bentuk ketaatan tingkat tertinggi seorang hamba Tuhan. Yakni, ketaatan para pecinta yang berdasarkan rasa syukur.

Segala hal yang dilakukan para pecinta ini diniatkan hanya karena alasan mencintai-Nya, dan karenanya ia ingin mendapatkan ridha-Nya. Mereka benar-benar percaya, apa pun yang dilakukannya didasarkan atas dasar keyakinannya akan Dia yang maha pengasih. Mereka tidak takut apakah yang dilakukan itu mengantarkannya ke surga, atau bahkan ke neraka. Ia hanya yakin bahwa hanya Allah lah yang memang layak untuk disembah.

Hal ini dicontohkan Muhammad Saw. Meski sudah dijamin masuk surga, dan bahkan Allah menjanjikan kenikmatan langsung berjumpa dengan Sang Maha Rahman, namun beliau tetap saja melakukan ibadah. Beliau tidak sekali pun meninggalkan kewajibannya sebagai Muslim. Beliau berdoa, shalat, bangun di tengah malam tahajud, hingga kakinya bengkak.

Ketika Aisyah ra bertanya mengapa dia shalat sunnah begitu banyak, padahal Rasul tahu bahwa Allah telah mengampuni masa lalu dan masa depannya, ia menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Inilah yang dimaksud Ibn Atoilah, “Amal kita bukan alasan bagi keselamatan kita. Kasih dan sayang-Nya lah satu-satunya alasan mengapa kita mendapat keselamatan.”

Kita menyembah karena Allah memerintahkan kita untuk melakukannya dan Dia Maha Tinggi, sehingga memang layak disembah. Ketika kita berdosa atau lalai akan kewajiban di suatu waktu, maka bukankah kembali, bertaubat, merintih pada-Nya merupakan satu-satunya jalan yang amat mulia untuk menggapai rahmat-Nya?

*Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia.

 

Lokasi Gua Ashabul Kahfi

Standar

Lokasi gua Ashabul Kahfi, hingga kini masih diperdebatkan.

 

(Sumber foto: Muslimvillage.com)

(Sumber foto: Muslimvillage.com)

Lokasi gua Ashabul Kahfi hingga kini masih menjadi pedebatan alot antara ulama dan peneliti. Di mana masing-masingnya memiliki alasan tersendiri terkait letak di mana Ashabul Kahfi itu tidur selama (mungkin) lebih dari 300 tahun.

Beberapa peneliti telah melaporkan hal itu terjadi di kota Efesus, Turki. Beberapa lainnya mengatakan di Spanyol, Yordania, Suriah, dan Yaman. Tapi peneliti Yordania, Muhammad Taysir Zibyan, yang merupakan editor majalah Al-Shari’ah, tiba di Pakistan pada 1976, di mana ia mengunjungi Darul Uloom dalam rangka menemui Mufti Muhammad Shafi Usmani. Di sanalah ia menyatakan keyakinannya bahwa gua tersebut telah ditemukan di sebuah gunung dekat Amman. Dia menyatakan lebih lanjut, “Saya telah menulis sebuah artikel untuk memverifikasi ini.”

Mengingat bukti yang ada dan bukti-bukti yang disajikan pada saat itu, tampaknya gua Ashabul Kahfi paling mungkin terletak di sana (Amman).

Zibyan kini telah meninggal, namun hasil investigasinya itu tersimpan baik dalam sebuah buku berjudul “Ashab al-Kahf’s Cave” (Lokasi Gua Ashabul Kahfi), diterbitkan Darul Ii’tisaam.

Kapan kejadian “Manusia Gua” berlangsung?

Al Qur’an menjelaskan, setelah kejadian “Manusia Gua” berlangsung, rakyat di daerah tersebut memutuskan untuk membangun sebuah masjid di dekat situs itu.

Namun, Al Qur’an tidak menyebutkan rincian sejarah atau geografis, di mana atau dalam periode siapa kejadian ini berlangsung. Oleh karena itu, peneliti dan sejarawan telah mengungkapkan pandangan yang berbeda terkait alur sejarah Ashabul Kahfi ini.

Sebagian besar peneliti cenderung satu suara terkait kejadian ini. Yakni mengatakan, Ashabul Kahfi terjadi beberapa waktu setelah kenaikan Isa as. antara 100 SM sampai 300 SM. Pada saat itu, di daerah ini, kuasa pemerintahan berada di tangan seorang raja bernama Nabti—yang juga disembah oleh rakyatnya. Tapi, cerita ini secara bertahap dipengaruhi agama Kristen, yang dimulai di Palestina, hingga masuk ke daerah ini.

Beberapa anak-anak menjadi pemeluk agama ini (penyembah raja Nabti) atas dasar pengaruh leluhur mereka. Kemudian pada periode di mana mereka tidak terlalu peduli dengan agama dan kehidupan, para penganut Kristen secara bertahap membebaskan wilayah ini dari penguasa Nabti dan berhasil membentuk pemerintahan mereka sendiri. Warga di sini juga menerima kekristenan.

Hal ini diketahui dari beberapa riwayat bahwa setelah belajar tentang Ashabul Kahfi, raja yang memerintah pada saat itu berkunjung ke gua tersebut untuk menemui mereka.Tapi sesampainya di sana, sang raja menemukan mereka dalam keadaan meninggal. Dalam riwayat lain tidak disebutkan siapa saja di antara mereka yang meninggal.

Kejadian yang sama ini telah diriwayatkan dalam beberapa riwayat Kristen dengan sedikit perbedaan. Telah dinyatakan bahwa cerita rinci pertama kejadian ini ditulis dalam sebuah artikel pada tahun 521 H oleh penulis Irak bernama Yaqub. Artikel ini ditulis dalam bahasa Syria, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani dan Latin.

Menurut dia, kejadian ini berlangsung di Efesus, terletak di Asia Kecil pada tahun 250 Masehi dan terdapat tujuh orang di dalam gua. Ia juga menulis bahwa Ashabul Kahfi masih hidup dan kelak akan dibangkitkan kembali menjelang Hari Kiamat.

Lokasi gua Ashabul Kahfi

Telah diriwayatkan dalam beberapa sumber Kristen bahwa kejadian ini terjadi di dekat kota Efesus di Turki (nama Islam untuk Ephesus adalah Tarsus). Sebuah gua yang disebut sebagai gua Ashabul Kahfi. Mungkin alasan para peneliti Muslim dan sejarawan mengidentifikasi tempat Ashabul Kahfi di Efesus adalah atas dasar sumber-sumber Kristen ini.

Sebuah kisah ditulis Abdullah ibn Abbas ra. dari Tafsir Ibnu Jarir menyatakan, “Gua Ashabul Kahfi terletak dekat ‘Ila’ di Yordania.”

Banyak ulama saat ini telah memberikan preferensi bahwa gua ini terletak di Yordania atas dasar kisah ini dan bukti lain. Hadhrat Mawlana Hifzur-Rahman Suharwi telah menulis kisah rinci tentang hal ini dalam Qashash al-Qur’an, dengan disertai beberapa bukti geografis historis yang relevan. Ia menyatakan bahwa gua sebenarnya berada di Yordania. Hadhrat Mawlana Sayyid Sulaiman al-Nadwi telah menyatakan dalam Ardh ??al -Qur’an bahwa kota tua “Parra di Yordania” adalah “Raqeem” tersebut.

Hadhrat Maulana Muhammad Shafi dan Mawlana Abul-Kalam Azad juga cenderung sependapat dengan mereka, yang menyatakan bahwa gua tersebut berada di Yordania.

Hasil penelitian mereka adalah bahwa nama sebenarnya dari kota bersejarah yang terkenal Parra adalah Raqeem. Bangsa Romawi berganti nama menjadi Parra, dan gua ini terletak di suatu tempat di dekat sana.

Namun pada 1953, Bruder Zibyan menemukan fakta bahwa ada suatu gua di Amman, terletak di gunung, di mana beberapa kuburan dan mayat-mayat, dan ada juga sebuah masjid di situs ini. Oleh karena itu, ia berangkat mencari gua ini dengan salah seorang temannya. Tetapi karena lokasi ini bukan untuk umum, mereka harus berjuang ekstra untuk mencapai tempat tersebut, hingga akhirnya menemukan gua yang dicari.

Zibyan melaporkan, “Kami berdiri di depan sebuah lapangan gua hitam yang terletak di gunung. Gua itu sangat gelap, sehingga kami sulit untuk masuk. Seorang gembala memberitahu kami bahwa ada beberapa kuburan di dalam gua yang berisi tulang tua. Gua itu sudah sedikit terbuka di bagian selatan dan ada dua pilar di kedua sisinya, yang telah terbuat dari batu besar. Tiba-tiba mata saya jatuh pada ukiran dua pilar. Beberapa prasasti Bizantium terlihat. Gua itu ditutupi oleh batu dan puing-puing. Pada jarak sekitar 100 meter, ada sebuah desa kecil bernama Rajeeb.”

Zibyan melanjutkan penelitian dan berkunjung ke Departemen Penemuan Arkeologi. Akhirnya, seorang arkeolog bernama Rafiq Dajani menyimpulkan, setelah banyak penelitian, bahwa ini sebenarnya gua Ashabul Kahfi.

Oleh karena itu, pada tahun 1961, mereka mulai melakukan penggalian dan penelitian. Hasilnya sangat mengejutkan, mereka terus menemukan bukti seperti yang diduga sebelumnya. Berikut beberapa bukti di antaranya:

Gua terbuka di bagian selatan, dan ayat berikut membenarkan hal ini:

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (Qs. Al Kahfi: 17)

Lokasi gua ini didesain sedemikian rupa, sehingga sinar matahari tidak pernah memasukinya di setiap saat, tapi dari kiri dan kanan bisa masuk ketika matahari terbenam dan terbit. Dan ada rongga luas di dalam gua di mana angin dan cahaya mudah dijangkau.

Masjid di atas gua

Ini juga telah disebutkan dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa penduduk desa yang ada di sana telah membangun sebuah masjid di atas gua ini. Oleh karena itu, setelah mengeluarkan puing-puing dan batu, masjid ditemukan langsung di atas gua, yang telah dibangun dari batu tua gaya Romawi. Para arkeolog mengatakan bahwa masjid ini terbuat dari batu dan awalnya tempat ibadah dalam bentuk Bizantium, dan kemudian diubah menjadi masjid pada masa Abd al-Malik ibn Marwan.

Pada masa itu, raja yang berkuasa di daerah tersebut sangat zalim, dan tidak segan-segan membunuh rakyatnya yang tidak seiman dengannya. Karena itu, para pemuda Ashabul Kahfi mencari tempat berlindung di gua itu, demikian diungkapan teori peneliti modern, terkait kaisar Romawi Trajan, yang berkuasa dari 98 SM sampai 117 SM.

Secara historis, fakta membuktikan bahwa pada 106 SM, Trajan menaklukkan wilayah timur Yordania dan membangun sebuah stadion di Amman.

Koin era Trajan

Setelah penemuan awal gua, banyak koin ditemukan tersebar di dalamnya, yang beberapa memang dari era Trajan yang sangat mendukung keyakinan bahwa ini merupakan gua Ashabul Kahfi.

Hasil terjemah dari MuslimVillage.

*Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia.

Presiden Sesederhana Sayyidina Umar

Standar

Jauh di Amerika, ada sosok pemimpin yang memilih hidup sederhana bak Umar bin Khattab.

José Alberto Mujica Cordano, presiden Uruguay. (Sumber foto: hikmah-ramadhan.pelitaonline.com)

José Alberto Mujica Cordano, presiden Uruguay.
(Sumber foto: hikmah-ramadhan.pelitaonline.com)

Hampir sebagian besar orang mengakui akan sosok Sayyidina Umar bin Khattab, sang khalifah, pemimpin besar yang tegas, pemberani, adil, bersahaja dan juga kharismatik.

Betapa tidak, di tangannya Islam berjaya, dan tumbuh sangat pesat. Berkat kepemimpinannya, Islam berhasil menaklukkan Mesir, Suriah, Afrika Utara, Palestina, dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Namun, meski namanya membumbung tinggi, dan dikenal sebagai panglima yang hebat dan pemberani hampir oleh seluruh umat pada masa itu, khalifah Umar justru mencontohkan hidup sederhana.

Sebuah kisah cukup terkenal dari Umar, adalah ketika seorang panglima besar bernama Hurmuzan dan ditemani Sayyidina Anas Bin Malik ra datang dengan kebesaran dan kemegahannya, untuk menemui Umar.

Saat itu, dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Ia datang dengan menggunakan perhiasan bertatah permata melekat di dahi, mantel sutra menutupi pundaknya, dan sebilah pedang dengan hiasan batu-batu mulia menggantung di sabuknya.

Ia membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya itu juga seperti dirinya. Tinggal di istana megah, ditemani para pemuka terkenal, dan memakai baju mahal lagi mewah.

Namun, sesampainya di Madinah, Umar tidak sedang ada di tempat, dan mereka diberitahu jika Umar sedang menerima delegasi dari Kufah di masjid.

Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga bertemu Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak di Madinah memberitahu bahwa Umar sedang tidur di beranda kanan masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal seorang diri.

Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukkan bahwa laki-laki yang ia cari itu hanya mengenakan pakaian sederhana dan tidur di masjid. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tidak percaya. Apa yang mereka pikirkan jauh berbanding terbalik dengan apa yang dilihat. Mereka heran dengan “gaya hidup” Umar yang demikian.

“Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman dan bisa tidur dengan nyaman.” Ujar Hurmuzan berdecak kagum.

Sayangnya, kisah kesederhanaan Umar ini sangat jarang kita jumpai di kalangan pemimpin saat ini. Seorang presiden, panglima besar, terkenal hingga ke seantero dunia, namun memilih hidup sederhana.

Hampir setiap pemimpin atau pejabat, seolah berlomba memperkaya diri sendiri. Bahkan. Demi ego pribadinya, tak jarang bila akhirnya mereka terjebak dan kemudian mengambil apa yang bukan menjadi haknya.

Namun, jauh di negara bagian Amerika sana, tepatnya di Uruguay, ada seorang presiden yang memilih hidup layaknya Sayyidina Umar.

José Alberto Mujica Cordano namanya. Ia mengenakan pakaian sederhana, tinggal di sebuah rumah pertanian sederhana di luar ibu kota. Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal. Ia tentu jauh dari kata mewah dengan tampilan seadanya.

Sejak berhasil meraih kursi kepimpinan, ia segera mendonasikan 90 % gajinya setiap bulan, yakni 12.000 dollar AS atau hampir Rp 120 juta, untuk berbagai kegiatan amal. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Pertanian Peternakan dan Perikanan (2005-2008) dan kemudian menjadi senator.

Tak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela, yang terlihat mengawasi di pintu masuk pertaniannya. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya.

Alasan Mujica memilih hidup sederhana.

Sebagian orang mungkin akan bertanya, mengapa ia memilih hidup sederhana, meski berhasil menduduki kursi presiden. Ia pun menjawab,“Hampir seluruh hidup saya habiskan dengan cara seperti ini. Saya bisa hidup baik dengan apa yang saya miliki saat ini,” kata Mujica.

Pada 2010, ketika kekayaan pribadinya diumumkan, saat itu total kekayaan Mujica hanya 1.000 dollar (kurang lebih 11 juta), sebanding dengan harga sebuah mobil VW Beetle keluaran 1987.

Sebelumnya, Mujica pernah masuk penjara selama 14 tahun, dan sempat mengalami penembakan sebanyak enam kali. Ia ditahan akibat menjadi anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba antara  1960-an sampai 1970-an.

Namun sebagian besar masa penahanannya yang sangat buruk dan dalam sel isolasi itu, diakuinya sebagai pembentuk kepribadian dan pandangan hidupnya saat ini.

Miskin di mata Mujica

Media internasional menyebutnya sebagai “presiden termiskin di dunia”. Namun, tampaknya ia kurang setuju dengan sebuatan itu. Sebaliknya, ia mengatakan kepada Aljazeera bahwa orang yang miskin adalah mereka yang selalu memaksa berkonsumsi di luar kebutuhannya.

“Miskin itu mereka yang kebutuhannya selalu berlebih. Karena kebutuhannya terlalu berlebih, maka ia tidak pernah puas.”

“Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tak memiliki banyak barang, Anda tak perlu bekerja keras untuk mempertahankannya dan bekerja seumur hidup layaknya budak. Dengan cara seperti ini, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri,” tambahnya.

“Banyak yang mengatakan saya orang tua gila atau eksentrik, tapi ini adalah masalah pilihan,” lanjutnya.

Ya, apa yang diungkapkan Mujica ini mengingatkan kita pada peringatan Gandhi puluhan tahun lalu, “Bumi ini sebenarnya cukup, bahkan berlebih, untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus.”

*Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia.

 

Surat Nabi Muhammad untuk Penganut Kristen

Standar

Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka.

 

Surat yang diduga telah dikirim Rasul kepada gereja St. Catherine. (Sumber foto: Worldbulletin)

Surat yang diduga telah dikirim Rasul kepada gereja St. Catherine.
(Sumber foto: Worldbulletin)

Di tengah kekacauan yang melanda seluruh rakyat Afrika, baik Tengah-Timur maupun Utara, sejak pemberontakan Musim Semi Arab melawan kediktatoran seakan membuka jalan bagi militansi dan perang sipil di wilayah tersebut. Kristen dan Islam pun semakin mengungkapkan keprihatinanya atas kondisi hidup para penganutnya.

Meskipun secara keseluruhan Kristen termasuk kaum minoritas, namun tampaknya peningkatan populasi Kristen semakin signifikan, tak terkecuali di negara-negara seperti Suriah, Turki, Irak, Lebanon, Palestina dan Mesir.

World Bulletin melansir, setelah jatuhnya presiden terpilih Mesir Mohamed Morsi dalam kudeta militer pada 3 Juli yang dipimpin oleh Field Marshal Abdel-Fattah al-Sisi, serta penganiayaan terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin dimana Morsi berasal, banyak Muslim mulai mencurigai bahwa komunitas Kristen naik 10 % dari populasi, memainkan peran dalam mengusir gerakan tersebut. Hal ini cukup meningkatkan ketegangan antara Muslim dan Kristen di Mesir, dengan disertai bentrokan dan merusak berbagai fasilitas umum.

Kekhawatiran serupa pula dirasakan Kristen Suriah, terutama setelah al-Qaeda kelompok oposisi berafiliasi mengambil alih kota-kota Kristen Maaloola dan Kessab. Maaloola kemudian dikuasi kembali rezim Suriah, tapi Kessab, yang terletak di sepanjang perbatasan Turki, masih di bawah kendali pejuang oposisi.

Meskipun anggota komunitas etnis Armenia Kessab, yang sebagian besar melarikan diri ke Turki untuk menghindar dari pemboman pemberontak—yang ditargetkan oleh rezim Suriah, telah berusaha mengadakan perdamaian dan para pejuang oposisi telah mempertaruhkan hidup mereka untuk mengantar mereka ke tempat yang aman, kecemasan dan kekhawatiran tetap saja menghantui kehidupan para penganut Kristen.

Dalam konteks ini, tidak ada salahnya jika kita sejenak menilik isi surat Rasulallah Saw. yang dikirim beliau kepada para biarawan Kristen di salah satu biara tertua di dunia, St. Catherine, Semenanjung Sinai, Mesir, pada tahun 628 M.

Surat yang juga dikenal dunia sebagai Muhammad’s Testamentum ini merupakandokumen sejarah yang berisi tentang sikap Muhammad Saw. terhadap kaum Kristen, dimana beliau memberikan jaminan perlindungan dan hak-hak hidup tanpa syarat apa pun. Surat tersebut bermaterai gambar telapak tangan Rasulullah Saw.

Meski banyak kalangan meragukan keotentikan surat tersebut dikarenakan naskah asli sudah tidak ada lagi dan hanya terdapat salinannya, namun surat tersebut sudah diverifikasi oleh banyak cendekiawan Muslim dan non-Muslim untuk meneliti keotentikannya.

Di antara peneliti itu adalah Aziz Suryal Atiya dengan buku The Monastery of St. Catherine and the Mount Sinai Expedition (1952), J. Hobbs dengan buku Mount Sinai (1995), K.A. Manaphis dengan buku Sinai: Treasures of the Monastery of Saint Catherine (1990), dan Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi Islam di University of Delaware, yang juga pernah dimuat di Washington Post (1 Desember 2012), dengan judul Muhammad’s Promise to Christians.

Seperti dikutip dari Wikipedia, dengan berdasarkan paparan sejarah, hilangnya naskah asli Muhammad’s Testamentum terjadi saat Kekaisaran Ottoman yang dipimpin Sultan Selim I melakukan ekspansi ke Mesir tahun 1517. Naskah asli lalu diambil dari biara tersebut oleh tentara Ottoman dan diserahkan kepada Sultan Selim I. Sultan Selim I kemudian membuat salinannya untuk disimpan kembali di biara tersebut.

Sejarah pun mencatat betapa tingginya sikap toleransi yang ditunjukkan para penguasa Islam selama kekuasaan Ottoman (1517-1798).

Begitu pula pada tahun 1630, Gabriel Sionita menerbitkan edisi pertama naskah perjanjian tersebut dalam bahasa Arab, dengan judul “Al-‘Ahd wal Surut allati Sarrataha Muhammad Rasulullah li Ahlil Millah al-Nashraniyyah” (Perjanjian dan Surat yang Dituliskan oleh Muhammad Rasulullah kepada Kaum Kristen).

Dan sejak abad 19, dokumen perjanjian tersebut diteliti oleh banyak akademisi kontemporer, Timur dan Barat, dengan terutama berfokus pada daftar para saksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat kemiripan antara dokumen perjanjian yang disimpan di Biara St. Chaterine dengan dokumen-dokumen sejenis yang pernah diberikan oleh Rasulullah kepada kelompok-kelompok agama lain di Timur Dekat. Di antaranya adalah surat Rasul kepada kaum Kristen yang menetap di Najran, yang pertama kali ditemukan pada 878 di sebuah biara di Irak dan diawetkan di Chronicle of Seert.

Berikut bunyi surat tersebut, yang dikutip secara utuh dari Dr. Muqtader Khan;

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka.

Sesungguhnya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku. Demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya.

Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum Muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka.

Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki Muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja dan berdoa.

Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini.

Tidak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”

Ya, begitulah isi perjanjian yang diduga telah dikirim Rasul kepada para penganut Kristen. Terlepas benar atau salah, ada atau tidaknya surat tersebut, bukankah sikap saling menghormati, menghargai, toleran antar pemeluk agama merupakan bagian penting yang kerap Rasul ajarkan kepada umatnya? Wallahu A’lam Bishowab.

*Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia

Pulang Kampung Akhirat dengan “Niat Seperti Niat Rasulallah”

Standar

Niat merupakan jantung setiap aktivitas yang dilakukan manusia.

 

Sumber foto: indonesian.irib.ir

Sumber foto: indonesian.irib.ir

Umat Muslim meyakini bahwa kehidupan ini tidak hanya berhenti pada urusan duniawi saja, melainkan juga kelak kita akan kembali pada Tuhan Semesta Alam, Pemilik sejati, dengan melalui pintu kematian, sebagaimana yang ditetapkan pada setiap makhluk hidup. “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (QS. Ali Imran : 185).

“Setelah itu kami bangkitkan kamu sesudah mati” (QS. Al Baqarah : 56).

“Dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS. Al Hajj : 7).

Sayangnya, tidak sedikit orang yang sibuk melakukan segala sesuatu untuk mengejar dunia (saja), dan lupa bahwa dirinya kelak akan ‘pulang kampung’. Sehingga, ada sebagian orang yang ketika pulang kampung bisa selamat, dan ada pula yang sebaliknya.

Hal ini, selain karena kehendak Allah—yang Maha menentukan segala keputusan—siapa yang kelak akan diselamatkan dan tidak—juga karena kita, sebagai manusia telah salah melangkah atau kurang tepat dalam menjalankan sesuatu.

“Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (2:281)

Bahkan, ironisnya kesalahan langkah ini kerap terjadi akibat peta tujuan yang kita gunakan sejak awal memang tidak tepat atau salah.

Misalnya, tujuan kita akan pergi ke Indonesia, namun peta yang kita gunakan merupakan peta Malaysia. Maka, sampai kapan pun, bukankah kita tidak akan sampai ke tempat tujuan? Begitu pun kita dalam melakukan segala sesuatu.

Karenanya, peta yang baik dan sesuai merupakan kunci utama ketepatan kita dalam mewujudkan sukses atau tidaknya kita melakukan perjalanan. Islam, yang menghendaki kebaikan bagi umatnya, bahkan sudah jauh hari mengingatkan pentingnya peta ini. Yakni, dengan memulai segala aktivitas, termasuk bekerja, mencari rizki dan kegiatan lainnya dengan disertai niat yang baik. Sehingga, kelak berpengaruh pada tujuan akhir kita.

Tak heran bila Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf dalam pengajian rutinan Majelis Ahbabul Musthofa di Solo, pekan lalu, mengimbau kepada seluruh manusia untuk meluruskan niat aktivitas.

Beliau mengaku, bahwa setiap melakukan aktivitas, selalu menyertakan niat seperti niat Ali ra. dan niat Rasulallah Saw.

“Setiap kali memulai majelis ini, saya selalu berniat, ‘nawaina ma nawaa habib ali, ma nawaa Rasulullah’ (jadikan niat kami seperti niat Habib Ali dan niat Rasulullah),” katanya seperti dikutip dari Nu.or.id pada Rabu (30/04).

Menurut beliau, niat merupakan jantung setiap aktivitas yang dilakukan manusia. Karenanya, mengawali semua perbuatan dengan niat baik sangatlah penting.

“Awali semua perbuatan kita, dengan niatan yang baik,” ujar Habib Syekh.

Seorang ulama besar Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad setiap hari ketika bangun tidur menuliskan setidaknya 100 niat baik yang akan dikerjakan pada hari itu, lanjutnya mencontohkan.

“Ia menulis 100 niat. Hal yang diniatkan olehnya bukan untuk mencari rizki, tetapi mencari ridha Allah, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya,” kata Pengasuh majelis Ahbabul Musthofa ini.

Apa yang diungkapkan Habib Syekh ini tampaknya sejalan dengan hadis Nabi,

“Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Kami mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan)akhirat niat (tujuan utama)nyamaka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah 4105, Ahmad 5/183, Ad-Daarimi 229, Ibnu Hibban 680)

Ya, bukankah suatu kerugian bila apa yang kita lakukan tidak bernilai apa pun di hadapan-Nya? Bukankah bayaran tertinggi yang sesungguhnya paling diharapkan dan dinanti setiap Muslim adalah perjumpaan dengan-Nya? Dan, bukankah semua hal yang kita lakukan dengan tujuan mengharap ridha-Nya dan dilakukan dengan cara yang benar, niscaya bisa menjadi bekal kelak saat kita pulang kampung akhirat? Wallahua A’lam Bishawab.

*Silakan copy, asal menyertakan sumber.
 Artikel ini pernah dimuat di Islam Indonesia