Ilustrasi ini diambil dari PENULISONLINE.COM
Suatu saat nanti, cepat atau lambat, kita semua akan mati. Terkubur tanah dan berselimutkan tanah. Berteman cacing dan berkawankan kecoa. Badan yang segar bugar pun harus rela berbagi dengan mereka. Tak bisa menolak, atau juga lari.
Pilihannya hanya satu, menerima segala apa saja yang datang kepadanya. Bila pun memberontak, itu sama saja berbicara kepada tembok. Karena, jangankan semut yang dulu pernah kau injak sanggup menolong, orang-orang terdekatmu yang dulu kau kira mencintai dan menyayangimu pun tengah sama-sama sibuk mengenali siapa sosok dirinya dan di mana kelak ia akan berlabuh, menemui Tuhan atau berbelok ke Jahanam karena “lupa diri” kala mampir di bumi-Nya.
Dalam kurun waktu tertentu, semuanya akan terus begitu, dan begitu hingga datang suatu masa di mana Israfil meniupkan Sang Sangkakala. Lalu, tersadarlah manusia bahwa kini saatnya ia dibangkitkan dalam kondisi telanjang bulat di Padang luas bernama Makhsyar.
“Wahai tubuh-tubuh yang telah hancur, tulang-belulang yang telah remuk, rambut-rambut yang beterbangan dan urat lehermu yang terputus! Bangkitlah kamu dari perut burung, dari perut binatang buas, dari dasar laut dan dari perut bumi ke perhimpunan Tuhan yang Maha Perkasa.”
Lantas mereka yang tengah sibuk mengenali siap sosok dirinya pun menyahut, “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami yang ini (alam kubur)?”
Dan, kebingungan pun makin menggelayut di dada. Siapakah gerangan yang membangunkan mereka dengan bising suara yang memekakkan telinga. Masing-masing orang tak peduli siapa kawan dan siapa saudara. Siapa teman dan siapa sanak famili. Terus hilir mudik seorang diri tanpa sanggup menjawab sedang apa sebenarnya ia duduk dan mondar mandir di padang terluas ini. Terus begitu, hingga tak sadar bahwa dirinya telah berada dalam kebingungan selama ratusan atau bahkan puluhan ribu tahun! Duduk berhimpit seperti berkumpulnya anak-anak panah di dalam wadahnya.
Juga, manusia dalam keadaan berbagai rupa. Ada yang buta. Ada juga yang cacat. Ada yang penuh luka bercampur darah dan nanah, dan ada juga yang sanggup tersenyum simpul, manis sekali. Semuanya akan tampak sebagaimana layaknya ia dulu hidup di dunia. Semua bentuk mereka tergantung pada amalnya masing-masing.
Ditambah lapar dan dahaga, ia terus mencari ke mana hendak pergi dan kepada siapa hendak melabuhkan iman.
Dan pada saat itu, teringatlah semua umat manusia akan Nabinya. Di mana Nabi yang dulu pernah diikutinya?
Mereka pun mencari dan mencari. Nabiku, di manakah engkau berada?
Dan, kala umat tengah sibuk mencari Nabinya, sang Nabi, yang sudah dibangkitkan dari kubur paling awal, pada hari tersebut, sebetulnya ketika bangkit sambil membuang tanah dari rambut dan janggut, beliau gelisah dan terus bertanya kepada Malaikat Jibril,
Di manakah umatku? Umatku …. umatku … di mana umatku, ya Jibril?
Begitu besar kerinduan Nabi kepada umatnya, bahkan menepis kerinduannya kepada keluarga dan kerabat dekat.
Allahu akbar. Bisa dibayangkan, Rasul yang demikian agung, saat pertama kali dibangunkan dari tidur panjang, beliau tidak bertanya di mana Khadijah, istriku? Di mana Fatimah, anakku? Di mana Ali, cucuku? Tetapi, dengan penuh gelisah beliau terus menyebut, umatku … di mana umatku?
Nabi sangat rindu ingin bertemu dengan umatnya. Oooh, alangkah terharu dan tersanjungnya kita, dirindu dan diinginkan jumpa oleh orang nomor satu di sejagat alam.
“Oh, di mana umatku?”
Jibril pun menjawab, “Wahai Muhammad! Umatmu adalah umat yang terakhir. Mereka berjalan dengan lambat dan perlahan.”
Mendengar jawaban itu, Muhammad, Nabi paling dicintai Allah itu kemudian menangis … dan terus menangis. Hingga tibalah suatu masa di mana Hari Perhitungan itu akan tiba. Maka, pada saat itu, tak seorang Nabi pun yang berani menghadap untuk dihisab dikarenakan masing-masing tergambar “dosa” kala ia hidup dahulu … lalu, saat itu pula Nabi Muhammad pun memohon agar diawalkan penghisabannya.
Jibril pun datang menemui Muhammad, lalu berkata: “Wahai Muhammad! Umatmu telah dipanggil untuk dihisab oleh Allah Taala.”
Setelah mendapat berita bahwa umatnya akan dihisab lebih awal dibandingkan umat-umat yang lain, Muhammad pun mengumumkan kepada umatnya itu. Dan, di antara orang-orang yang berdosa pun menyahut dengan senggukan tangis. Terkejut dan takut akan azab yang janjikan-Nya itu benar akan tiba.
Kemudian, perlahan Muhammad memimpin semua barisan umatnya sebagaimana penggembala memimpin ternaknya menuju Allah Taala.
Lalu, Allah berfirman: “Wahai hambaKu! Hari ini, Kami akan membalas setiap jiwa dengan apa yang telah mereka usahakan. Hari ini, Aku akan memuliakan sesiapa yang mentaatiKu. Dan, Aku akan mengazab siapa saja yang durhaka terhadapKu ….”
Allah … Allah … Allah … ampuni kami. Ampuni khilaf kami, dan jadikanlah Muhammad, Nabi kami tercinta sebagai syafaat kala hari itu tiba. Hari di mana tiada lagi kasih selain kasih Nabi kami dan kasih-Mu. Amin.[]
Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.