Kuliah Umum bersama Karen Armstrong

Standar

Jumat, 14 Juni 2013 merupakan hari yang paling saya tunggu. Mengapa? Ya, karena pada hari itu Mizan mengadakan Public Lecture bersama Karen Armstrong. Salah seorang penulis dan pembicara terkemuka dunia untuk masalah-masalah agama yang sekaligus menjadi idola saya. Acara itu diadakan di gedung Annex Building, lantai 12 Komplek Wisma Nusantara, Jakarta.

Sebetulnya acara dijadwalkan mulai pukul 19.00, namun karena tempat tinggal saya yang lumayan jauh dari tempat acara plus rasa keingintahuan saya akan sosok Karen yang begitu besar, akhirnya pukul 17.00, selepas jam kantor usai, saya pun langsung menuju tempat acara. Ternyata benar saja, saya tiba satu jam lebih awal dari jadwal. Tapi tak apalah, toh hati saya tetap melonjak-lonjak ingin segera bertemu dengan sang idola. Aktivitas menunggu yang  biasanya terasa jenuh dan membuat satu detik berasa satu abad, tidak berlaku bagi saya kali ini. Saya tetap menikmati semuanya. Menikmati hiruk pikuk acara dan lalu lalang pengunjung, sembari membayangkan Karen berada di depan saya, itu cukup membuat waktu satu jam tak terasa.

Akhirnya, menit demi menit ruangan pun mulai terisi, bahkan kursi yang disediakan panitia rupanya tidak cukup, sehingga panitia pun menambahkan puluhan kursi berikutnya, hingga ruangan pun menjadi penuh.

Seperti yang telah dijadwalkan, sekitar pukul 19.00 MC pun membuka acara, kemudian beranjak pada acara selanjutnya dengan berbagai testimoni. Testimoni pertama disampaikan oleh  Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatulloh). Beliau membahas sedikit tentangbagaimana Islam atau siapapun harus bersikap dan berakhlak sebagai rahmat bagi semesta alam.

Testimoni kedua disampaikan oleh Yenny Wahid (Direktur Wahid Institute). Beliau membicarakan tentang bungkus agama. Menurutnya, masyarakat ini, khususnya penganut agama banyak yang hanya terpaku pada ritualnya saja, ibadah maghdohnya saja, seperti tuntunan sholatnya, tuntunan doanya, lafalnya bagaimana, sedangkan prinsip-prinsip kasih sayangnya cenderung dilupakan. Padahal, jika kita berfokus pada bungkus agamanya saja, maka banyak sekali persoalan-persoalan masyarakat yang tidak bisa dijawab dengan agama. Dalam hal ini, orang justru akan lari dari agama, karena mereka menganggap bahwa agama tidak memberikan solusi.

Testimoni ketiga disampaikan oleh Romo Franz Magnis Suseno (Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat  Driyakarya). Beliau menyoroti sebuah gerakan yang dilakukan oleh Karen untuk mengembalikan nilai-nilai cinta kasih ke posisinya sebagai inti ajaran agama. Karen tidak hanya berkhotbah kepada, melainkan mengangkat apa yang ada di dalam agama-agama. “Saya kira kita semua melihat bahwa Compassion patuh dalam ragam kesetiaan untuk menderita dan menjadi hati dari agama. Jangan mengatasnamakan Tuhan dalam melakukan sesuatu. Menyangkal nilai-nilai kemanusiaan yang sebetulnya dituntut kerendahan hati. Bagaimana kita bicara tentang Tuhan jika kita tidak rendah hati, sebab betapa sedikitnya hal yang kita ketahui. Oleh karena itu, kita harus mengajak dan mempersatukan agama kembali kepada hakikatnya, kita harus saling menghormati ke dalam kekhasan masing-masing. Hormati setiap haknya untuk hidup dan beribadah sesuai keyakinannya. Karena ada Tuhan di atas sana”.

Testimoni berikutnya disampaikan oleh Haidar Bagir sebagai Direktur Utama Mizan. Beliau membicarakan tentang prinsip-prinsip kasih sayang islam yang sudah banyak dilupakan, sehingga Compassion merupakan solusi. Dalam al-Quran, Tuhan yang maha agung lebih banyak menggambarkan tentang keindahan, kecantikan yang mempesona dibandingkan aspek kekacauan, kebencian, dan lain sebaginya. Bahkan, Tuhan menjelaskan bahwa dirinya hanya 1 kali sebagai pembalas, dan 100 kali sebagai pemaaf. Artinya, Tuhan lebih senang menyebut dirinya sebagai arrohman dan ar-rohim. Ar-rohman dia sebut sebagai kasih sayangnya yang tercurah bagi semesta alam, sedangkan ar-rohim diperuntukkan bagi mukminin,  sehingga tidak ada satupun benda atau apapun yang tidak diliputi oleh kasih sayang Tuhan. Murkaku adalah bagian dari kasih sayang Tuhan. Dalam hadis, Rasul Saw. bersabda “Akhlaqu biakhlakillah”, berakhlaklah kamu dengan akhlak Tuhan. Oleh karena itu, setiap orang yang beragama harus menyebarkan kasih sayang di dalam dirinya. “Barang siapa mampu mencintai yang di bumi, maka ia akan dicintai yang dilangit”.

Akhirnya tibalah pada inti acara, yaitu ceramah umum Karen Armstrong. Beliau secara lengkap menjelaskan tentang pentingnya bersikap dengan penuh cinta dan kasih sayang tanpa mengenal perbedaan agama, baik yang mengakui keberadaan agama maupun yang tidak. Bagaimana kita dapat merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan diri kita sendiri. Compassion ini memang tidak mudah, akan tetapi Karen tetap optimis dan berkomitmen, baik dalam diri maupun tindakan. Compassion  seperti halnya kita belajar berenang, tanpa praktek, sampai kapan pun cinta kasih tidak akan terwujud. Compassion memang seperti pasir dalam sebuah kerang. Tentunya, ia tidak membutuhkan waktu yang sebentar untuk dapat berubah menjadi mutiara. Oleh karena itu, kita harus terus berkomitmen sekaligus mewujudkannya dalam bentuk tindakan.

Sekitar pukul, 22. 30, ceramah pun ditutup dan dilanjutkan dengan memberikan kesempatan bagi para penggemar untuk membubuhkan tanda tangan dalam bukunya. Masing-masing orang hanya dibolehkan membawa dua buah buku yang ditandatangan, sehingga ada beberapa orang yang merasa kecewa karena sudah bersiap membawa buku sebanyak-banyaknya untuk dapat ditandatangan. Namun, setelah dijelaskan oleh panitia, akhirnya mereka pun mengerti tentang kondisi kesehatan Karen yang sudah kecapean.

Rasanya, saya sendiri masih belum cukup untuk menimba ilmu darimu, Karen. Namun, saya tahu setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu pun dengan saya dan sang idola. Terima kasih Karen, kau telah memberikan spirit baru dalam hidup kami, para pecinta kedamaian, khususnya bagi saya—dan kami semua—yang masih masih minim ilmu ini.

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di situs MizanMag.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)

Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup berbelas Kasih

Standar

Di abad ini, rasa belas kasih sepertinya sudah memudar, bahkan yang terlihat jelas di depan mata kita pada hari ini adalah kebencian, kekerasan, permusuhan, saling sikut, baik secara personal manusia, maupun secara kelompok dalam bentuk agama, organisasi, bendera dan lain sebagainya. Itulah sifat dasar yang diwariskan oleh reptil-reptil terdahulu, termasuk pada corak hidup manusia, yaitu feeding, fighting, fleeing, reproduction (makan, melawan, kabur, dan kawin). Dorongan ini mengakibatkan manusia agar dapat bersaing guna memenuhi kebutuhan dasar mereka atau yang sering disebut sebagai “otak tua”.

Padahal, “otak tua” tersebut dapat direkondisi dengan berbagai cara. Sebab selain keempat sifat naluriah manusia itu, nyatanya manusia pun diiringi dengan sifat naluriah lain seperti kelembutan hati, kasih sayang, dan cinta. Permasalahan ini hanya tentang bagaimana kita mendominasikan pilihan-pilihan hidup tersebut. Apakah kita akan terus bergelut pada karakter “otak tua” kita, atau sebaliknya.  Mendominasikan sifat alamiah kita yang berupa cinta, kedamaian dan kasih sayang. Karen Amstrong, menjelaskan bagaimana cara manusia merekondisi “otak tua” ini dengan menebarkan 12 langkah menuju hidup berbelas kasih atau yang dikenal dengan Kaidah Emas (memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan). Yaitu;

1. Belajar tentang belas kasih.

Membaca dan belajar merupakan langkah awal bagi kita untuk memulai segala aktivitas manusia, termasuk dalam mempraktekkan hidup berbelas kasih. Dalam hal ini, kita dapat belajar dari manusia hebat terdahulu yang telah berhasil mengibarkan sayap kedamaian dan penuh belas kasih. Belajar pada para guru bijak kita di masa lalu. Seperti halnya dalam Islam, kita belajar pada Muhammad Saw. yang selalu menebarkan sikap saling berbelas kasih yang tercermin dalam hadis “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Muhammad mengajarkan agar setiap pengikutnya untuk selalu menebarkan salam. Bahkan, seorang muslim harus menyisihkan hasil kerja kerasnya untuk zakat. Hal ini merupakan cermin sikap kepedulian, rasa tanggung jawab, kemurah hatian antar sesama manusia guna menundukkan ego “otak tua” yang telah lahir berbarengan dengan penciptaan manusia itu sendiri dan kemudian mendominasikannya pada “otak baru” yang penuh kasih sayang.

2. Lihatlah dunia Anda sendiri

Melihat dunia kita sendiri, sangatlah tidak mudah. Namun, inilah syarat utama yang harus kita lakukan sebelum kita mampu mengenal orang lain, bahkan Tuhan sekali pun. Sebagaimana Islam menjelaskan dalam hadis “Barang siapa yang mampu mengenal dirinya, maka ia mampu mengenal Tuhannya”. Hal ini pun telah dilakukan oleh manusia hebat sebelum kita, seperti Budha yang mengasingkan diri, meninggalkan segala kemewahan dunia, pergi menemui satu guru ke guru lain demi menemukan jati dirinya sebagai manusia. Kemudian ada pula Muhammad yang dengan kesungguhan hatinya, beliau mengasingkan diri ke Gua Hira guna menemukan jalan keluar bagi kaumnya yang saat itu, lebih condong pada sifat “otak tua” mereka.

Artinya, untuk memunculkan sikap berbelas kasih ini, maka kita butuh pembiasaan dari dini, sejak dalam lingkup keluarga. Seperti apa yang dikatakan Konfusius bahwa keluarga merupakan sekolah kasih sayang. Dari sinilah kita belajar untuk hidup dengan orang lain dan menanggalkan jubah keegoisan manusia demi mengakomodasi kebutuhan anggota keluarga lainnya. Selanjutnya, kita harus memperhatikan lingkup tempat kita bekerja, melihat lingkup desa, kota, negara hingga akhirnya kita dapat memperlakukan seluruh dunia seperti halnya diri kita ingin diperlakukan.

3. Belas kasih pada diri sendiri

Sebagai manusia, kita memiliki kebutuhan biologis dan psikis yang harus disayangi dan untuk menyayangi orang lain. Namun, terkadang kita lebih cenderung menghukum diri sendiri atas kekurangan dan menjadi sangat marah ketika kegagalan ada di depan mata. Ketika kita mengalami jalan buntu, tak segan-segan kita untuk balas menyerang pada diri kita dengan misalnya mogok makan, mogok beraktivitas dan lain sebagainya. Padahal berbelas kasih pada diri sendiri ini sangat penting. Sebab, jika kita memperlakukan diri kita dengan kasar, maka inilah cara kita memperlakukan orang lain.

Kemarahan, ketakutan, kebencian dan keserakahan merupakan sifat warisan “otak tua” kita. Maka,cobalah dengan lembut kesampingkan sifat-sifat ini dan mulailah untuk berbelas kasih pada diri Anda sendiri. Ungkapkan secara berulang-ulang bahwa rasa marah pada diri merupakan emosi purba yang diwarisi dari nenek moyang kita terdahulu. Itu bukan diri Anda yang sebenarnya, sebab diri Anda sangatlah berarti dan berhak mendapat perlindungan dari diri Anda sendiri sebagai makhluk yang bernyawa.

4. Empati

Penderitaan adalah hukum kehidupan. Semua orang akan mengalaminya. Kadar penderitaan itulah yang akan membedakan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, untuk memunculkan sikap belas kasih, cara selanjutnya adalah dengan cara mengasah diri kita untuk selalu hidup berempati. Awali dengan langkah meditasi atau merenungkan segala sesuatunya, jika diri ini sedang berada dalam posisi yang sedang dialami orang lain.

5. Perhatian penuh

Sikap penuh perhatian akan dapat menyingkirkan sikap “otak tua” kita yang menjadi penyebab dasar munculnya berbagai penderitaan. Kita akan lebih mendapatkan kebahagiaan ketika kita sudah berdamai dengan diri sendiri dan mengekang ego diri yang memunculkan kemarahan dan kebencian.

6. Tindakan

Setelah kita belajar dan memiliki wawasan tentang bagaimana seharusnya kita bersikap untuk menimbulkan rasa belas kasih, maka hal yang harus dilakukan adalah bertindak. Sebab, seberapa pun banyaknya pengetahuan, jika tidak diaplikasikan, maka percuma. Sebagimana dikatakan orang bijak bahwa perbuatan baik sekecil apa pun akan dapat mengubah kehidupan. Jadi, jika Anda ingin menjadi kekuatan bagi kebaikan di dunia, Anda harus menerapkan pengetahuan yang Anda dapatkan.

7. Betapa sedikitnya yang kita ketahui

Kita harus menyadari betul bahwa apa yang kita ketahui ternyata masih sedikit. Sehingga, kita akan terus mencari tahu segala sesuatu yang belum kita tahu. Bahkan, Socrates pernah berkata bahwa ia tidak tahu apa-apa selain ia tahu bahwa ia tidak tahu apa-apa. Hal ini menunjukkan sikap kebijaksanaannya sebagai manusia yang memang harus selalu menyadari bahwa yang diketahui oleh manusia, pada dasarnya sangat sedikit. Dengan begitu, kita akan dapat menghargai hal yang tidak bisa diketahui, menghargai segala pendapat yang terlontar dari orang lain, serta bersikap peka terhadap pernyataan orang lain.

8. Bagaimana seharusnya kita berbicara kepada sesama?

Di dunia ini, komunikasi sangat penting. Namun, terkadang komunikasi yang salah akan dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan sikap belas kasih, komunikasi yang baik ini sangat diperlukan guna mencapai titik keseimbangan antara wawasan si penutur dengan si penerima ungkapan. Jadi, jika kita ingin memahami orang lain, kita harus menganggap mereka benar dalam banyak hal.  Kita harus menciptakan kembali konteks saat kalimat tersebut diucapkan. Kita harus benar-benar memperhatikan cara berbicara kita, isi kata-kata diri kita, dan hormatilah lawan bicara Anda.

9. Kepedulian untuk sesama

Kesejahteraan umat manusia sangat bergantung pada jian ai “cinta universal atau kepedulian untuk semua orang”. Karenanya, sikap peduli yang dilakukan satu orang saja akan dapat membangun kesejahteraan bagi yang lain. Sebagaimana pula tercantum dalm kitab suci umat Islam “… Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya (QS. Al-Maidah: 32).

10. Pengetahuan

Sebelum kita men-judge keburukan orang, suku, agama, bangsa lain, maka kita harus tinjau kembali poin ke tujuh. Yaitu, betapa sedikitnya pengetahuan yang kita miliki. Sehingga, kita dapat berpikir ulang untuk mengatakan orang lain itu buruk. Hal ini disebabkan apa yang kita ketahui pada dasarnya amatlah sedikit, sehingga apa yang hari ini kita anggap salah, bisa jadi di kemudian hari terbukti kebenarannya.

11. Pengakuan

Kaidah Emas mengharuskan kita untuk mengakui penderitaan yang pernah kita alami di masa lalu, sehingga kita dapat ikut merasakan penderitan orang lain yang sedang orang lain hadapi, dan telah usai Anda hadapi sebelum orang lain berhasil mengatasinya. Dengan begitu, selain Anda dapat menjadikan penderitaan orang lain sebagai peluang spiritual, Anda juga dapat membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain ke arah yang lebih baik, sama seperti Anda di masa lalu. Membantunya untuk bangkit dari keterpurukan.

12. Cintailah musuhmu

Kaidah Emas mengajarkan bahwa apa yang kita lakukan pada orang lain, akan memantul dan berdampak pada diri kita sendiri. Karenanya, cintailah musuhmu sebagaimana Anda ingin dicintai. Seperti yang dikatakan Laozi bahwa, tidak peduli seberapa baik niatmu, kekerasan akan selalu berbalik pada pelakunya. Gandhi mengatakan bahwa “Mata diganti mata akan membuat seluruh dunia menjadi buta”. Kekerasan dibalas kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan kembali. Jika sudah demikian, bumi pasti akan hancur.  Oleh sebab itu, ingatlah perkataan Konfusius “Jika Anda berusaha membangun diri sendiri, carilah cara untuk membangun orang lain”. Sebagaimana tercermin dalam kisah Yakoov dan Esau “musuh kita adalah diri kita yang lain. Dalam hal ini, hal yang harus kita lakukan adalah berupaya untuk mendengarkan orang lain dengan cara serius, sehingga kita dapat bersahabat dengan musuh, sebagaiman Muhammad Saw. memperlakukan para tawanan perang dengan lembut dan penuh cinta. (Lina/Mizan.com/Diolah dari buku Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih)

 

*Ditulis oleh Lina Sellin, dan pernah dimuat di situs Mizan.com.

(Silakan meng-copy, asal menyertakan sumber)