Kisah Bijak Para Sufi: Doa yang Terkabul  

Standar
 

Keinginanmu (doa) dapat terpenuhi dengan sempurna tanpa harus merusak atau merugikan orang lain.

Suatu hari, Ma’ruf sedang berjalan dengan para muridnya. Terlihat sekelompok pemuda melintasi jalan yang sama sembari melakukan berbagai pebuatan onar. Ada yang berjalan sambil menendang botol bekas yang mereka temui. Ada juga yang menertawakan kelompok Ma’ruf yang tampak memakai pakaian sederhana. Bahkan, ada juga yang berjalan sambil sempoyongan akibat minuman keras.

Para murid pun mengeluh, “Guru, mohonlah pada Tuhan Semesta Alam agar Dia menenggelamkan mereka semua, dunia yang bersih ini menjadi kotor karena ulah mereka.” Ucap salah seorang murid.

“Tengadahkan tangan kalian,” perintah Ma’ruf. Para murid pun dengan segera menuruti perintah sang guru.

Kemudian Ma’ruf berdoa, “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberi karunia berupa kehidupan yang bahagia di dunia ini, mohon karuniakan pula kebahagiaan bagi mereka kelak di Hari Kemudian.”

Para murid terheran, dan memprotes, “Guru, yang kami minta doa untuk membumihanguskan mereka, bukan doa kebahagiaan seperti yang Guru ucapkan barusan.”

“Dia yang pada-Nya aku berbicara, tahu rahasia-Nya,” jawab Ma’ruf. “Tunggulah sejenak, dan bersabarlah. Rahasia doaku akan terungkap.”

Tak lama, Ma’ruf bersama rombongan duduk menepi di pinggir jalan untuk berteduh. Tak disangka, anak-anak muda yang membuat onar tadi datang menghampiri Ma’ruf sambil menggigil dan berkata, “Beri kami petunjuk, sehingga hati kami damai seperti kalian. Demi Tuhan, kami berbuat onar seperti tadi karena butuh kedamaian.”

Ma’ruf tersenyum, dan berkata pada muridnya, “Itulah doa, keinginan kalian dapat terpenuhi dengan sempurna tanpa harus merusak atau merugikan orang lain.”

——–

Ya, sesungguhnya tiada doa bersenandungkan kalimat buruk. Sebab doa merupakan pujian dan sanjungan bagi Allah, Dzat yang Maha Memiliki. Sayangnya, terkadang, manusia lupa (atau lebih fokus) untuk meminta hal buruk (ditujukan bagi orang lain) ketimbang fokus meminta sesuatu yang baik. Padahal, bukankah kebaikan/keburukan itu sejatinya akan kembali pada yang meminta doa itu sendiri?

Fariduddin Aththar bercerita tentang Abu Mahfudh Ma’ruf ibnu Firudh al Karkhi. Salah seorang sufi agung yang berasal dari Baghdad. Konon, kedua orangtunya merupakan pemeluk agama Kristen. Namun, mereka sangat toleran terhadap anak-anaknya. Ma’ruf pun memilih jalan hidupnya untuk memeluk Islam dan mengikuti apa yang dia yakini sebagai kebenaran.

Ma’ruf wafat pada 200 H/ 815 M.

Lima Hal yang membuat Manusia Jera Bermaksiat  

Standar

Dikisahkan, pada suatu hari datanglah seorang pemuda ke rumah Ibrahim ibn Adham. Pemuda itu berkata, “Sungguh, aku penuh dosa dan maksiat. Tunjukkanlah aku jalan yang lurus. Berikan aku wejangan khusus agar jera dengan maksiat!”

Ibrahim menjawab, “Anak muda, jika kamu melakukan lima hal ini, kamu tidak akan termasuk orang-orang yang melakukan maksiat.”

Pemuda itu tampak kegirangan, “Jika betul begitu, sampaikanlah segera wejangan yang manjur itu!”

“Pertama, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan sesuatu pun dari rezeki-Nya.”

Pemuda yang sedari tadi menunggu jawab itu tampak kecewa dengan wejangan Ibrahim. “Betapa kurang beruntungnya aku mendatangi rumahmu, wahai Ibrahim. Bagaimana mungkin engkau mengatakan hal itu, sementara kau tahu jika semua rezeki itu datangnya dari Allah?”

Dengan tenang Ibrahim menjawab, “Jika kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu memakan rezeki-Nya sedangkan engkau berbuat maksiat terhadap-Nya.”

Orang itu terdiam, dan perlahan berkata, “Tidak, wahai Ibrahim.”  Suasana hening. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kedua, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, janganlah kamu bertempat tinggal di Bumi Allah.”

Lelaki itu kembali terheran-heran. “Bagaimana engkau mengatakan hal itu, wahai Ibrahim, padahal semua negeri adalah milik Allah?”

Ibrahim menjelaskan, “Bila kamu mengetahui akan hal itu, apa pantas kamu tinggal di Bumi-Nya dan berbuat maksiat kepada-Nya?”

Lelaki itu pun kembali menjawab “Tidak, wahai Ibrahim.”

Ibrahim melanjutkan, “Ketiga, jika kamu ingin berbuat maksiat kepada Allah, carilah tempat yang Allah tidak melihatmu!”

Lelaki itu berkata, “Wahai Ibrahim, sungguh aku tidak mengerti teka tekimu untuk kesekian kalinya. Beritahukan padaku, bagaimana engkau mengatakan hal itu, padahal engkau tahu jika Allah Maha Tahu segala rahasia, sekecil apapun. Bahkan, getar hatiku di gelap gulita pun Dia mengetahuinya?

Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, apa pantas kamu berbuat maksiat kepada-Nya?”

“Tidak, wahai Ibrahim.” Jawab pemuda itu, “Lalu apa selanjutnya?” tanyanya kemudian.

“Keempat, jika datang malaikat maut untuk mencabut nyawamu, katakan padanya, ‘Tundalah barang sedetik saja untukmu bertaubat!’”

Lelaki itu heran dan kembali bertanya, “Bagaimana engkau mengatakan hal itu wahai Ibrahim, padahal Allah berfirman, “Bila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak dapat (pula) memajukannya?”

Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu mengetahui hal itu, bagaimana kamu mengharapkan keselamatan?”

Lelaki itu berkata, “Benar. Berikanlah yang kelima wahai Ibrahim!”

Ibrahim pun melanjutkan, “Kelima, bila datang kepadamu malaikat penjaga neraka Jahannam, janganlah engkau pergi bersama mereka.”

Belum selesai Ibrahim mengatakan nasihat yang kelima, lelaki itu menangis tersedu-sedu sembari berkata, “Cukup Ibrahim! Aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.”

——-

Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham lahir di Balkh. Berbagai literatur sejarah mengatakan bahwa ia merupakan seorang pangeran asli keturunan Arab yang kemudian memilih untuk meninggalkan kerajaannya dan hidup sebagai seorang pekerja kasar di Suriah.

Konon, Ibrahim wafat pada 165 H/ 782 M dalam ekspedisi melawan pasukan Byzantium.

Boleh mengcopy, asal mencantumkan link tulisan ini.

(Lina Sellin)

KH. Muchtar Adam: Batu adalah Tali antara Tasawwuf dan Ibadah Para Nabi  

Standar

KH. Muchtar Adam saat mengisi pengajian tasawwuf di rumahnya, Bandung pada Minggu (02/03).

KH. Muchtar Adam merupakan seorang muballigh, ulama, penulis, cendekiawan, sekaligus pendiri dan pimpinan umum Pondok Pesantren Al Qur’an Baabusalam di Desa Ciburial, Bandung, Jawa Barat.

Dakwahnya yang berbobot, tapi dikemas secara renyah, ringan, dan akrab ditelinga masyarakat ini menjadi nilai plus. Sehingga, tak heran jika kehadirannya selalu dinantikan dan mendapat tempat istimewa di hati umat Islam.

Ditemui di sela-sela kegiatannya mengisi pengajian Tasawwuf di rumahnya, lelaki kelahiran Benteng Selayar, ini bercerita panjang lebar tentang tasawwuf dan kaitannya dengan perkembangan Islam. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan KH. Muchtar Adam;

Hakikat tasawwuf?

Tasawwuf itu pensucian atau pembersihan diri seseorang dari segala bentuk kemaksiatan, baik lahir maupun batin. Karena maksiat itu ada maksiat lahir dan ada juga maksiat batin.

Apakah istilah tasawwuf (dalam Islam) sudah ada sejak zaman dulu?

Kalau kita lihat kata sufi, dalam Taurat dan Injil ada kata “musaffi” yang artinya batu, dan dari puncak batu itu ada yang mengawasi. Kemudian suf, sofa, sofiah, sufi, asal katanya dari itu, sampai pada kata mustofa.

Nama Nabi Muhammad Saw. itu di dalam sejarah Islam, dalam Al-Qur’an ada 70 nama. Dalam hadis ada 201 diberi gelar mustofa. Kalau diteliti lebih dalam lagi, mustofa itulah puncak kesufian. Asalnya dari Mekah itu ada Sofa-Marwah, yakni Puncak batu di mana di sana ada yang mengawasi orang-orang. Kemudian berubah makna menjadi kesufian yang selalu diawasi.

Jadi istilah tasawwuf itu sudah ada sejak zaman dulu. Sejak zaman nabi-nabi terdahulu, seluruh Nabi ada kata tasawwuf, dan puncaknya mustofa yang merujuk pada Nabi Muhammad Saw., di zaman nabi ada dikenal ashabul suffah. Di zaman sahabat ada Salman Al Farisi.

Kalau di Indonesia ini kan masih belum akrab dengan kata tasawwuf, sehingga saya sendiri menggunakan kata makrifatullah, makrifaturrasul, makriatul malaikat untuk merujuk pada tasawwuf. Karena sebetulnya tujuannya sama.

Ada berapa macam tasawwuf?

Secara umum ada dua, pertama, tasawwuf akhlaki, dikenalkan Al Ghazali dan banyak dirujuk Sunni. Tingkatan ini masih tingkat rendah.

Kedua, tasawwuf falsafi, banyak di kalangan ulama Iran yang menggunakan ilmu mantiq (logika) dulu. Nah, tasawwuf ilmi juga termasuk ini.

Kalau di Indonesia ini yang diambil jenis tasawwwuf apa?

Tasawwuf akhlaki. Karena lebih menekankan pada akhlak yang banyak merujuk pada Ihya ulumuddin, karya Al Ghazali. Dalam tasawwuf ini ada tingkatannya.

Di Indonesia ini Islamnya masih islam Fiqh. Yang banyak dilihat orang hanya terkait shalat, puasa, dll.

Jadi kalau shalat tidak mengarah pada kiblat, maka dianggap sesat. Karena dilihat dari fiqh. Padahal dalam sudut pandang tasawwuf, Allah ada di mana-mana. Dalam makrifatullah, shalat menghadap kiblat itu masih Taman Kanak-Kanak.

Inni wahjahtu wajhiyaladzi fathorossamawati, hadapkan jiwa ragaku pada Allah. Jadi menghadap Allah, bukan menghadap kiblat.

Syariat, tarekat, dan hakikat. Jadi Indonesia ini masih berada di tingkatan syariat.

Tingkatan dalam tasawwuf itu apa saja?

Tingkatan ini salah satunya bisa dilihat dari dzikirnya. Kalau dzikirnya baru La ila ha illallah di kalangan ulama makrifat, itu berarti masih berada di tingkat Taman Kanak-Kanak. Ini masih tingkat pemula, tingkat rendah.

Kemudian, naik tingkat berikutnya—dengan menggunakan dzikir yang menyebut Allah bisa dengan “Hua”, yang berarti Dia (gaib).

Laila ha ila Anta seperti doanya Nabi Yunus ketika dalam perut ikan, ini naik tingkat lebih tinggi lagi.

Lalu, naik tingkat lagi seperti dzikir yang dilantunkan Nabi Musa, la ila ha ila Ana. “Ana” di sini bukan ana (saya), tapi terasa bahwa ana itu “Qolbun mu’min arsyullah” yang berarti hati orang yang beriman adalah arsy Allah. Ini tingkatan tinggi.

Apa itu berarti yang dirasakan oleh Al Hallaj, Robiah ala Adawiyah dan semacamnya?

Iya, kalau dulu dianggap salah. Tapi sekarang, kalau tinjauannya fiqh, salah. Tapi kalau tinjauan tasawwuf ya benar. Ini ibarat teh dan air. Teh ya teh, air ya air. Satu tapi terpisah. Terpisah tapi satu.

Di Mekah ada Sofa Marwah. Di Yerusalem juga ada. Namanya Zion dan Morio. Sama-sama gunung, bentuknya batu. Jadi nyambung dari zaman Nabi terdahulu, hingga Nabi akhir zaman. Sumber ibadah-ibadah Nabi itu kan dulu batu, Nabi Ya’kub yang mulai memperoleh mukjizat di sana, kemudian Nabi Sulaiman membangun Masjidil Aqso, yang disebut Bayt El, Baytullah. Hubungan nabi-nabi itu ya batu. Ka’bah ada Hajar Aswad, ada Maqom Ibrahim. Sofa batu, Marwah juga batu. Jadi pertautan antara Nabi-nabi ini dari Batu. Pusat ibadah para Nabi.

Berarti batu punya peran dalam perkembangan Islam?

Oh iya, dalam makrifatullah itu sangat berperan. Kalau Abu bakar masuk baitullah, sebelum melihat Ka’bah yang dia lihat adalah pemilik Ka’bah

Kalau Umar bin Khattab, sesudah melihat Ka’bah yang dia lihat bukan Ka’bah, tapi pemilik Ka’bah.

Ali bin Abi Thalib, sebelum dan sesudah melihat Ka’bah, Ka’bah tidak terlihat, tapi yang kelihatan pemilik Ka’bah.

Contohnya Nabi Khidzir dan Nabi Musa yang tidak akur. Musa menggunakan ilmu lahir, sedangkan Khidzir ilmu batin.

Siapa Sufi terkenal di kalangan para Nabi?

Sufi terkenal sebelum Nabi Muhammad itu Nabi Yahya. Salah satunya terkait sikap sederhananya. Ia kalau mau makan, tidak berani makan sebelum binatang makan. Binatang buas tidak berani padanya. Nabi Musa itu disebut pembaptis dalam Injil dan Taurat, kalau dalam Al Qur’an disebut shibghoh.

 

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)

Anjing dan Jubah Sufi  

Standar

Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun untuk esok hari, sedangkan engkau menimbun sekarung penuh gandum untuk esok hari.

Suatu hari, Abu Yazid sedang berjalan ketika seekor anjing berlari di sampingnya. Abu Yazid serta merta mengangkat jubahnya.

Bukan tanpa alasan ia melakukan hal tersebut. Selain karena najis, ia pun menganggap bahwa anjing hanya akan mengotori jubah kebesaran sufinya itu.

Tak disangka, anjing itu melolong, seolah berkata pada Abu Yazid, “Jika aku kering, aku tidak merugikan. Jika aku basah, tujuh air tanah akan mendamaikan kita. Namun jika engkau mengangkat jubahmu seperti seseorang yang sok suci dan munafik, engkau tidak akan pernah menjadi bersih, tidak akan pernah, walaupun engkau mandi di tujuh samudera.”

Abu Yazid jelas terheran. Bukan karena anjing itu dapat bersuara dan menimbulkan bulu kuduknya berdiri, tapi juga karena isi kalimatnya. Ia pun berkomentar, “Sahabatku, engkau tidak suci di luar, sedangkan aku tidak suci di dalam. Mari kita bekerja sama. Semoga usaha kita mampu membuat kita suci.”

“Engkau tidak patut menjadi temanku dan berkelana bersamaku,” jawab anjing itu. “Karena aku ditolak oleh seluruh manusia, sedangkan engkau diterima di kalangan manusia. Setiap orang yang berpapasan denganku akan melemparkan batu ke arahku. Mereka mencercaku dan mengatakan aku binatang najis yang tidak layak mendapat kasih sayang manusia. Mereka itulah yang menjulukimu Raja Para Sufi.”

“Lantas, salah siapa aku diciptakan sebagai anjing dan engkau tercipta sebagai manusia? Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun untuk esok hari, sedangkan engkau menimbun sekarung penuh gandum untuk esok hari,” lanjut sang anjing.

Anjing pun pergi berlalu dari hadapan Abu Yazid. Sedangkan guru besar sufi itu merenung, dan berkata pada diri, “Ya Allah, karena kesombonganku, Engkau tidak mengizinkanku bersahabat dan berjalan beriringan dengan seekor anjing,” ujar Abu Yazid. “Lalu bagaimana mungkin aku berjalan bersama Dzat yang Maha Abadi?”

——

Abu Yazid Thaifur ibnu Isa ibnu Surusyan al Bisthani merupakan seorang sufi. Ia lahir di Bisthan, Timur Laut Persia dan wafat pada 264/877 M di tempat yang sama pula.

Abu Yazid dikenal di kalangan sufi karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik yang menyeluruh kepada ketuhanan. Pemikirannya sangat mempengaruhi para penempuh jalan sufi setelah masanya, terutama dengan penggambarannya terkait jalan menuju syurga sebagai imitasi mikrajnya Rasul Saw.

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)

Jika Kenikmatan Ibadah Tak Kunjung Tiba  

Standar

Rumahku bukanlah toko—yang menyimpan segala sesuatu di dalamnya.

 

Suatu malam Abu Yazid tidak menemukan ketenangan dalam beribadah. Padahal, segala macam ibadah telah ia lakukan. Setelah shalat wajib, ia susul dengan shalat sunnah, membaca Al Qur’an, diulang berkali-kali, dan terus begitu. Tapi, kenikmatan itu tak kunjung ia temui sampai pagi menjelang.

Ia pun mencari apa yang kurang dalam ritualnya itu. Mencoba mengingat-ingat tentang kemungkinan adanya rukun dan syarat ibadah yang terlewat. Membuka Qur’an, mencari ayat yang mungkin saja bisa ia temukan untuk mengobati gundahnya itu. Sayang, tak juga ditemukan.

Akhirnya, Abu Yazid memanggil dan mengumpulkan seluruh muridnya dan berkata, “Coba cari, apakah ada barang yang berharga di rumah ini.”

Para muridnya pun mulai mencari. Semua memencar ke semua sudut rumah sang guru. Tetap tidak ditemukan.

“Guru, sungguh kami tidak menemukan apa pun yang berharga di rumah ini, kecuali mungkin ini yang guru maksud,” lapor salah satu murid sembari membawa setengah ikat buah anggur.

“Dari mana kau dapatkan itu?” tanya Abu Yazid.

“Kami menemukan ini (anggur) di meja dapur rumah guru.” Jawab sang murid.

“Bawalah dan sedekahkan anggur itu,” perintah Abu Yazid. “Rumahku bukanlah toko buah—yang menyimpan anggur itu.”

Heran mendengar itu, sang murid bertanya, “Guru, bagaimana mungkin engkau  mengatakan anggur ini berharga? Bukankah seikat buah itu bisa kita dapatkan hanya dengan harga yang tak seberapa?”

“Di hadapan kita mungkin itu tidak seberapa, tapi di hadapan orang lain bisa jadi buah itu sangat dibutuhkan,” jelas Abu Yazid. “Lagi pula, bukankah buah itu akan sangat membahagiakan mereka bila kita memberikannya selagi masih segar nan manis?”

Beberapa saat setelah anggur itu disedekahkan, Abu Yazid pun kembali menemukan kenikmatan dalam beribadah.

Bayangkan, seorang tokoh ulama besar pun bisa merasakan kegersangan dalam beribadah hanya karena menyimpan seikat anggur. Lantas bagaimana dengan kita (yang masih begitu tergiur menyimpan barang-barang, hingga lupa pada hak barang tersebut untuk disedekahkan sebagiannya—yang sebetulnya bisa menghalangi kenikmatan kita dalam beribadah?)

——–

Abu Yazid Thaifur ibnu Surusyan al Bisthami merupakan salah seorang sufi terkemuka yang lahir dI Bistham, Persia dan wafat di tempat yang sama pula pada 264 H/877 M.

Konon, ia terkenal dalam dunia sufi sebagai pioner aliran ekstatik (mabuk) Tuhan. Hingga kini, alirannya masih mempengaruhi para penempuh jalan Tuhan di dunia, khususnya di daerah tempat lahir Abu Yazid.

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)

Cinta Abdullah Pada Sang Gadis  

Standar
Aku tergila-gila pada makhluk-Mu. Sementara jika Kau yang menyeru, aku begitu acuh.

 

Abdullah begitu tergila-gila dengan seorang wanita. Hatinya gelisah, hendak jumpa tapi tak jua terlaksana. Hari-harinya selalu diliputi bayangan gadis jelita itu.

Akhirnya, pada suatu malam di musim dingin, ia memutuskan untuk berdiri di sisi dinding rumah sang gadis. Ia menunggu, berharap kerinduannya segera terobati hanya dengan sedikit mencuri pandang wajah bunga hatinya.

Salju pun turun sepanjang malam itu. Saat adzan berkumandang, ia menyangka itu adalah adzan isya. Namun, melihat fajar telah menyingsing, ia sadar bahwa ia telah menghabiskan malam itu dalam kerinduannya kepada gadis pujaannya.

“Memalukan kau, Abdullah!” Ujar salah seorang pejalan kaki di dekat rumahnya itu saat melihat Abdullah menggigil kedinginan.

Sontak pemuda itu terheran, siapakah gerangan yang mengetahui isi hatinya tersebut.

“Di malam yang begitu terberkahi, engkau berdiri di atas kakimu hingga pagi karena nafsu pribadimu. Namun bila imam memperpanjang bacaan shalat, engkau mendadak menjadi kalut,” tambahnya tanpa berbasa-basi.

“Siapa kau?” jawab Abdullah seraya membuka matanya lebar-lebar, menerawang dalam ingat dan penglihatannya.

Namun, pejalan kaki itu tak peduli dengan pertanyaan Abdullah. Dia terus melangkah dan berlalu dari hadapan pemuda malang itu.

Sayangnya, bukan ketenangan yang Abdullah dapat. Ia justru merasa semakin gelisah. Hatinya begitu terkoyak atas ungkapan lelaki tak dikenal tadi. Kesedihan merasuki jiwa dan hatinya.

“Benar, aku tergila-gila pada makhluk-Mu. Sementara jika Kau (Allah) yang menyeru (shalat), aku begitu acuh. Padahal Engkau lah Dzat Maha Pemberi Segala Sesuatu. Sungguh tiada kenikmatan yang dirasakan manusia melebihi kenikmatan saat berjumpa dengan yang Tercinta (Allah),” rintih Abdullah.

Ia pun masuk ke rumah. Tersungkur dalam tangis taubat yang khusyuk.

——

Peristiwa inilah yang konon membuat Abu Abdurrahman Abdullah ibnu al Mubarak al Handhali al Mawardhi berpaling dari kehidupan dunia yang mewah. Ia lahir pada 118 H/736 M di Merv dari seorang ayah berketurunan Turki, sedangkan ibunya dari Persia.

Abdullah menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan. Namun, di kalangan para sufi, ia justru terkenal sebagai salah seorang perawi hadis yang amat mumpuni. Hingga kini, karyanya tentang ketuhanan masih bisa ditemukan, khususnya di wilayah Persia dan Turki.

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)

At-Tirmidzi dan Anjing  

Standar
Jika engkau menginginkan kebahagiaan, pergilah, temui At-Tirmidzi dan belajarlah tentang akhlak padanya.

 Ada seorang ulama besar yang hidup sezaman dengan At-Tirmidzi. Namun, meski sama-sama aktif mengajar ilmu agama, sang ulama tersebut tidak suka dengan “gaya” pengajaran At-Tirmidzi. Alhasil, apapun yang ditulis atau pun diungkapkan At-Tirmidzi, selalu saja dikritik.

Bahkan, kritikannya tidak berhenti pada perihal agama saja. Melainkan merambah luas, hingga kepada hal-hal pribadi At-Tirmidzi.

Pada suatu hari, At-Tirmidzi pergi ke Hijaz. Ketika ia kembali dari perjalanannya, seekor anjing telah melahirkan di pondoknya yang tak berpintu. Dalam kondisi lelah dan ingin segera istirahat, ia pun berkali-kali bolak-balik mengintip sang anjing, dengan harapan anjing itu segera pergi dengan membawa anak-anaknya.

Namun, tampaknya anjing-anjing itu begitu lemah. At-Tirmidzi pun tak tega jika harus mengusir makhluk Allah itu.

Akhirnya, At-Tirmidzi rela mengalah dan memilih tidur di luar rumah—dengan kondisi gurun yang dingin.

Malam itu pula, sang ulama besar yang sedari dulu enggan mengakui At-Tirmidzi sebagai orang berilmu, berjumpa dengan Nabi Saw. dalam mimpinya.

Nabi berkata, “Sirrah, engkau menentang seseorang yang berkali-kali menolong seekor anjing. Jika engkau menginginkan kebahagiaan, pergilah, temui At-Tirmidzi dan belajarlah tentang akhlak padanya.”

Ulama itu terbangun, dan segera bergegas mengunjungi rumah At-Tirmidzi. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat apa yang diimpikannya itu benar-benar nyata.

Ia pun terlalu malu untuk menjawab salam, ketika At-Tirmidzi menyapanya. Sejak saat itu, ia meminta maaf dan mengabdikan hidupnya pada At-Tirmidzi.

Jika pada anjing saja, ulama besar dunia (Imam At-Tirmidzi) menebarkan kasih sayangnya dengan tidak berani mengganggu tidurnya, lantas bagaimana dengan kita (sesama manusia) yang seharusnya mengikuti akhlak Rasul Saw. dalam berkasih sayang terhadap sesama makhluk, termasuk anjing?

Bagaimana akhlak kita ketika membangunkan orang tua, anak kita, adik kita, saudara kita? Bukankah kasih sayang dan sikap lembut itu tetap harus terpelihara, bahkan pada saat hendak membangunkan mereka?

———

Abu Abdullah Muhammad ibnu Ali ibnu al Husain al Hakim at Tirmidzi merupakan salah seorang pemikir kreatif terkemuka dalam mistisisme Islam. Selain itu, ia pula dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya-karyanya banyak mempengaruhi Imam Al Ghazali dan juga Ibnu Arabi.

 

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)

Yahya dan Surat Sang Adik  

Standar
 

Yahya mempunyai seorang adik lelaki yang pergi ke Makkah dan tinggal di dekat Ka’bah. Lama tak berjumpa dengan sang kakak, ia pun berinisiatif mengirimkan surat padanya, yang berisi;

“Saudaraku, sejujurnya aku punya tiga keinginan. Dua sudah dapat diwujudkan. Pertama, aku ingin tinggal di Makkah, tempat paling mulia di muka bumi. Kedua, aku ingin punya pelayan untuk dapat menyiapkan segala keperluanku, termasuk memanaskan air untuk wudhu, ketika musim dingin tiba. Dan ketiga, sebelum ajal menjemput, aku ingin bertemu denganmu. Semoga kakanda dapat mengabulkan keinginanku yang terakhir itu.”

Yahya membaca surat adiknya, dan kemudian membalasnya,

“Adikku, engkau mengatakan bahwa ingin tinggal di tempat termulia di atas bumi. Namun, sesungguhnya sebuah tempat menjadi mulia karena penghuninya, bukan sebaliknya. Berbuatlah sebaik mungkin, maka kamu bisa tinggal di mana saja dan tetap dapat menjadi manusia yang mulia di mana pun.

Kemudian engkau menginginkan pelayan dan kini telah memilikinya. Jika engkau seorang manusia yang sejati dan takut pada-Nya, engkau tidak akan pernah menjadikan hamba Allah sebagai hambamu, menghalanginya dari melayani Allah dan menghabiskan waktunya untuk melayanimu. Dengan begitu, engkau sesungguhnya telah menjadi tuan yang berkuasa. Tapi, kekuasaan sesungguhnya hanya milik Allah.

Terakhir, engkau mengatakan bahwa engkau ingin berjumpa denganku. Jika engkau benar-benar terpaut pada-Nya, engkau tidak akan sedikitpun mengingatku. Jadi, sibuklah dengan Allah, hingga tak ada lagi ingatan akan kakakmu ini yang merasuki pikiranmu. Di sana (di Makkah), seseorang harus siap mengorbankan anaknya. Apalah artinya seorang kakak, bila engkau telah menemukan-Nya? Dan jika engkau belum menemukan-Nya, keuntungan apa yang bisa engkau dapatkan dariku?”

 —–

Abu Zakariya Yahya ibnu Muad’z ar Radhi merupakan salah seorang murid Ibnu Karram. Ia meninggalkan kota asalnya, Rayy, dan tinggal selama beberapa wakti di Balkh. Setelah itu, ia meneruskan perjalanannya ke Nisyabur, dimana ia wafat pada 258 H/ 871 M.

Menurut Fariduddin Aththar selaku penulis kisah ini, merujuk pada Nabi Ibrahim as yang diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as.

 

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)

Kisah Sufi Ibnu Atha: Tak Perlu Banyak Baca Qur’an  

Standar
Engkau belum mencintai-Nya jika dapat menyelesaikan kalam-Nya (Al Qur’an) dengan sangat cepat.
  Suatu hari di sebuah majelis ilmu, Al Junaid bertanya kepada muridnya, Ibnu Atha, “Wahai muridku, berapa banyak surat dalam Al Qur’an yang berhasil engkau baca tiap harinya?” “Aku biasa mengkhatamkan Al Qur’an dua kali setiap hari,” jawab Ibnu Atha dengan mantap. Mendengar itu, Al Junaid kembali bertanya, “Bagaimana kamu bisa mengkhatamkan Kalam-Nya dengan begitu cepat?” “Aku begitu mencintai-Nya, hingga tak sanggup rasanya bila sebentar saja tidak membaca risalah itu.” “Muridku, engkau belum mencintai-Nya jika dapat menyelesaikan kalam-Nya dengan sangat cepat,” ujar sang guru. Mendengar penjelasan gurunya yang sangat dihormati itu, Ibnu Atha begitu kecewa. Bukan sanjungan atau pujian yang ia dapatkan, namun sebaliknya. Ia pun permisi pamit pulang dari majelis ilmu tersebut. Hatinya begitu gundah. Ia terus memikirkan apa yang diungkapan sang guru. Selama ini, ia sudah begitu berusaha keras membaca dan mengkhatamkan Al Qur’an dengan sebaik dan secepat mungkin. Namun, gurunya itu mengatakan usahanya tak menunjukkan kecintaan Ibnu Atha pada Tuhan-nya. Bertahun-tahun waktu pun telah berlalu. Di suatu kesempatan, Al Junaid kembali bertanya, “Muridku, berapa banyak ayat Al Qur’an yang berhasil engkau khatamkan setiap harinya?” Mendengar pertanyaan itu, angannya melayang ke belasan tahun silam. Masih jelas betul dalam kepalanya saat gurunya itu bertanya perihal ini.   Ia pun menjawab, “Dulu aku biasa mengkhatamkan Al Qur’an dua kali setiap hari. Kini, selama empat belas tahun sudah aku membaca Al Qur’an, tapi hingga saat ini, aku baru sampai pada surat Al Anfal.” “Bagaimana bisa engkau mengaku mencintai-Nya, namun begitu lamban membaca Kalam-Nya?” tanya Al Junaid kemudian. Dengan hormat Ibnu Atha menjawab,  “Guru, bagaimana mungkin aku mengaku mencintai Tuhan, sementara tanganku begitu cepat membalik lembar mushaf hanya untuk menyelesaikan bacaan? Bagaimana mungkin aku mengaku mencintai Tuhan, sementara lisanku begitu cepat ingin beralih dari mengagungkan-Nya demi mengejar banyaknya ayat yang kubaca? Bagaimana mungkin aku menginginkan perjumpaan dengan-Nya, sementara aku belum paham benar isi dari Kalam-Nya?” jawabnya. “Lisanku begitu kelu untuk beralih. Tanganku begitu enggan untuk membalikkan lembar Al Qur’an sebelum aku mampu memahaminya. Aku belajar untuk menjadi manusia yang beriman dari kitab suci ini, aku juga belajar berbagai ilmu sebagai pondasiku dalam beribadah pada-Nya, serta dari kalam-Nya pula aku mengamalkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang,” lanjutnya. Ia menambahkan, “Guru, tak perlu kiranya aku memburu jumlah juz atau seberapa banyak aku berhasil mengkhatamkan Al Qur’an di setiap waktunya, jika aku hanya berlalu darinya tanpa ilmu dan pengamalan apapun atas bacaanku,” lanjutnya. Sang guru pun menepuk pundak Ibnu Atha, “Kau berhasil menempuh jalan-Nya, Nak! Seorang insan yang begitu mencintai Tuhannya akan sangat hati-hati memahami kalam-Nya, sehingga ia mampu mengamalkan apa yang Dia (Allah) perintahkan dan apa yang Dia larang, dalam mushaf itu.” —– Fariduddin Aththar bercerita tentang Abu al Abbas Ahmad ibnu Muhammad ibnu Sahl ibnu Atha al Adami. Ia merupakan seorang murid terdekat Al Junaid. Selain dikenal sebagai sufi, ia juga dikenal sebagai penggubah syair dari Baghdad. Ibnu Atha meninggal pada 309 H/ 922 M.

Boleh mengcopy, asal mencantumkan sumber link tulisan ini.

(Lina Sellin)